Tugas : Individu
MK : Geografi Sumber Daya
MENGELOLA LAHAN HUTAN YANG BENAR
Oleh:
JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2009
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Potensi hutan dicirikan
keanekaragaman vegetasi karena merupakan sumberdaya paling dominan dari
komponen hutan, memiliki multifungsi, dan mudah digunakan. Secara umum ada dua fungsi utama
vegetasi hutan alam yaitu fungsi material dan ekologis. Fungsi material
menunjuk pada penyedia barang atau bahan yang diperlukan manusia untuk berbagai
keperluannya, sedangkan fungsi ekologis menunjuk pada regulator kondisi alam
yang memungkinkan sumberdaya lainnya tumbuh dan berkembang di dalamnya.
Teknologi
pemanfaatan vegetasi dalam fungsi material semakin baik sehingga meningkatkan
nilai ekonomi hasil hutan dan menjadi sumber devisa andalan bagi negara-negara
yang memiliki hutan. Multimanfaat vegetasi tersebut meningkatkan kecenderungan
eksploitasi hutan secara berlebihan yang dilakukan secara legal maupun ilegal
oleh negara-negara pemilik hutan. Fenomena ini yang menyebabkan semakin
menurunnya keanekaragaman hayati dan meluasnya lahan gundul di bumi ini.
Hilangnya vegetasi penutup lahan yang semakin
banyak akan mempengaruhi kondisi ekologis yaitu terganggunya proses alamiah
vital seperti siklus material (siklus hidrologi, karbondioksida, dan lain-lain)
yang dapat menyebabkan perubahan iklim mikro dan makro dan pada gilirannya
mempengaruhi kehidupan spesies lainnya termasuk manusia. Oleh karena itu
pemanfaatan vegetasi hutan alam sebagai sumber devisa dan pendapatan masyarakat
merupakan pertarungan antara ekonomi dan ekologi. Indonesia yang memiliki hutan
alam yang luas telah memilih alternatif ekonomi dalam pengelolaan hutannya
sehingga perubahan ekologis semakin terasa.
Pendekatan
ekologis dalam pemeliharaan kawasan hutan di Indonesia sukar dilakukan karena
hutan masih merupakan sumber devisa andalan dan sumber pendapatan
masyarakatnya. Karena itu diperlukan strategi pengelolaan hutan yang bernilai
ekonomi tinggi dan berwawasan lingkungan (berkelanjutan).
Hutan tropis Indonesia sebagai modal
pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan bangsa
Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Untuk itu dalam
pengurusan dan pengelolaan hutan diperlukan perlindungan dan pemanfaatan secara
berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik generasi sekarang maupun
yang akan datang.
Untuk menjamin status, fungsi,
kondisi hutan dan kawasan hutan dilakukan upaya perlindungan hutan yaitu
mencegah dan membatasi kerusakan dan pengurangan luas tutupan hutan yang
disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, hama dan penyakit
serta berbagai gejala alam lainnya. Perlindungan hutan dan konservasi
alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi
hutan tercapai secara optimal dan lestari.
Sebagaimana tercantum dalam
Undang-undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 guna mencapai tujuan secara maksimal
dan merupakan umpan balik bagi perbaikan dan atau penyempurnaan pengurusan
hutan lebih lanjut, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pengawasan
kehutanan. Demikian pula masyarakat dan atau perorangan turut berperan serta
dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak
langsung sehingga masyarakat dapat mengetahui rencana peruntukan hutan dan
pemanfaatannya.
Berdasarkan data yang ada, sumber
daya hutan selama periode 1985-1997 untuk 3 pulau besar yaitu Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi mengalami laju deforestasi seluas ± 1,6 juta ha per
tahun (Baplan, 1998) yang antara lain disebabkan oleh pengelolaan hutan yang
tidak tepat, pembukaan kawasan hutan dalam skala besar untuk berbagai keperluan
pembangunan, over cutting dan illegal loging, penjarahan,
perambahan, okupasi lahan dan kebakaran hutan. Oleh karena itu pemantauan
kondisi sumberdaya hutan tingkat nasional perl dilakukan secara periodik paling
tidak 3 tahun sekali.
Data kondisi sumberdaya hutan di seluruh Indonesia
sebagai bagian dari sistem informasi kehutanan merupakan bahan pendukung dalam
perencanaan pembangunan kehutanan di masa mendatang yaitu sebagai bahan dalam
kegiatan pemantauan (monitoring) dan pengawasan terhadap pengelolaan
hutan yang telah dilaksanakan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka
dilakukan Rekalkulasi Sumber Daya Hutan, khususnya rekalkulasi penutupan lahan
pada kawasan hutan, baik di dalam Hutan Konservasi, Hutan Lindung, maupun Hutan
Produksi di seluruh Indonesia. Hasil Rekalkulasi SDH tahun 2003 ini
merupakan upaya melengkapi dan menyempurnakan hasil rekalkulasi tahun 2002
dengan menambahkan data penutupan lahan Provinsi Papua.
B. Tujuan
Tujuan rekalkulasi sumber daya hutan adalah untuk menyajikan data
kondisi penutupan lahan pada kawasan hutan yaitu pada Hutan Konservasi, Hutan
Lindung dan Hutan Produksi sebagai bahan dalam perencanaan pengelolaan hutan
secara lestari (Sustainable Forest Management).
C. Sasaran
Tersedianya data penutupan lahan pada hutan konservasi, hutan
lindung, dan hutan produksi.
D. Ruang Lingkup
Penutupan lahan per provinsi seluruh Indonesia, baik kawasan hutan
maupun Areal Penggunaan Lain yang dirinci ke dalam 24 kelas.
BAB II
METODOLOGI
METODOLOGI
A.
Sumber Data
Data yang digunakan dalam rekalkulasi sumberdaya hutan
adalah data digital yang tersedia pada Pusat Perpetaan Kehutanan Badan
Planologi Kehutanan pada tingkat ketelitian skala 1:250.000. Data
tersebut meliputi:
1.
Data digital penutupan lahan
hasil penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 1999/2000. Penutupan
lahan diklasifikasi menjadi 24 klas, yaitu sebagai berikut:
a.
Hutan;
1.
Hutan lahan kering primer
2.
Hutan lahan kering sekunder
3.
Hutan rawa primer
4.
Hutan rawa sekunder
5.
Hutan mangrove primer
6.
Hutan mangrove sekunder
7.
Hutan tanaman
b.
Non Hutan;
1.
Semak/Belukar
2.
Belukar rawa
3.
Savana
4.
Perkebunan
5.
Pertanian lahan kering
6.
Pertanian lahan kering dan
Semak
7.
Transmigrasi
8.
Sawah
9.
Tambak
10.
Tanah Terbuka
11.
Pertambangan
12.
Pemukiman
13.
Tubuh Air
14.
Rawa
15.
Airport
c.
Tidak Ada Data;
1.
Awan
2.
Tidak Ada Data
2.
Data digital kawasan hutan
bersumber dari Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan untuk 23 propinsi
(Tahun 1999-2001), sedangkan untuk Propinsi Sumatera Utara, Riau dan
Kalimantan Tengah bersumber dari Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).
Kawasan Hutan berdasarkan fungsinya terdiri dari Hutan Lindung, Hutan
Konservasi (yaitu KSA-KPA dan Taman Buru), Hutan Produksi (yaitu Hutan Produksi
Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi yang dapat
dikonversi (HPK).
B.
Analisa dan Penyajian Data
Rekalkulasi sumber daya hutan
dilaksanakan melalui analisa data penutupan lahan pada kawasan hutan dengan
menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis. Tahapan rekalkulasi
adalah sebagai berikut :
1.
Penyiapan data digital kawasan
hutan dan penutupan lahan provinsi.
2.
Overlay data digital penutupan lahan dengan
data kawasan hutan.
3.
Penghitungan luas penutupan
lahan pada setiap kawasan hutan.
4.
Dalam penghitungan luas
menggunakan spesifikasi: proyeksi yang digunakan adalah Mercator, spheroid WGS
84, angka luas dibulatkan kedalam ribu ha.
5.
Penyajian luas penutupan lahan
dalam bentuk peta dan tabel.
BAB III
HASIL REKALKULASI SUMBER DAYA HUTAN
HASIL REKALKULASI SUMBER DAYA HUTAN
Total areal
yang dilakukan rekalkulasi seluas 187,784 juta ha terdiri dari kawasan hutan
seluas 133,128 juta ha dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 54,656 juta
ha. Hasil Rekalkulasi menunjukkan bahwa:
- Luas lahan berhutan pada kawasan hutan untuk seluruh daratan Indonesia adalah 83,892 juta ha atau 63,0 %, non hutan seluas 31,952 juta ha atau 24,0 % dan tidak ada data seluas 17,284 juta ha atau 13,0 %.
- Pada Areal Penggunaan Lain (APL) luas lahan berhutan 8,066 juta ha atau 14,8 %, luas lahan non hutan 41,374 juta ha atau 75,7 % dan tidak ada data seluas 5,216 juta ha atau 9,5 %.
A.
Rekalkulasi pada Hutan
Lindung
Hasil penghitungan luas penutupan lahan pada Hutan
Lindung menunjukkan:
1.
Provinsi Kalimantan Tengah
memiliki lahan berhutan tertinggi yaitu 90,8 %. Sedangkan provinsi lain
yang memiliki lahan berhutan diatas 80 % adalah Nangroe Aceh Darussalam, Jawa
Timur dan Kalimantan Timur.
2.
Penutupan lahan berhutan untuk
Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo, NTB dan Papua berkisar antara 75 % sampai
79 %.
3.
Provinsi Sumatera Selatan,
Bangka Belitung, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur memiliki lahan berhutan
kurang dari 40 % dan Provinsi Lampung memiliki lahan berhutan terendah yaitu
17,4 %.
Kondisi sumberdaya hutan pada Hutan Lindung memerlukan
perhatian khusus karena Hutan Lindung merupakan kawasan yang memiliki fungsi
hidrologis untuk menunjang kehidupan di kawasan bawahnya. Beberapa
provinsi yang memiliki Hutan Lindung yang minim dengan penutupan berhutan yang
rendah perlu diperhitungkan daya dukung hidrologinya dalam memenuhi kebutuhan
akan air, dengan alternatif peningkatan peran kawasan lindung lainnya seperti
sempadan sungai, mata air dan danau di luar kawasan hutan. Kondisi tekanan
penduduk terhadap hutan menjadi salah satu pertimbangan dalam melakukan
rehabilitasi terhadap Hutan Lindung.
Untuk Provinsi DKI Jakarta yang hanya memiliki kawasan
hutan seluas 100 ha dengan penutupan lahan berupa non hutan, maka peran kawasan
lindung seperti jalur hijau dan kawasan sempadan sungai perlu ditingkatkan
dalam menunjang fungsi hidrologis sungai-sungai yang ada. Pembangunan
Hutan Kota secara nyata akan sangat membantu upaya konservasi air di DKI Jakarta
khususnya dan di wilayah perkotaan umumnya.
B.
Rekalkulasi pada Hutan
Konservasi
Hasil penghitungan luas penutupan lahan pada
Hutan Konservasi menunjukkan:
1.
Lahan berhutan di Pulau
Sumatera pada Provinsi Nangroe Aceh Darussalam 88,6 % dan Bengkulu 84,6 %, sedangkan
Provinsi Sumatera Selatan sudah di bawah 50 %.
2.
Provinsi lainnya yang masih
memiliki lahan berhutan di atas 80 % adalah Provinsi Banten, Jawa Timur,
Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Di Pulau Sulawesi hanya Provinsi
Gorontalo yang masih di atas 70 %, sedangkan provinsi lainnya, yaitu Provinsi
Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Tenggara sekitar 50 % serta Provinsi
Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan kurang dari 50 %.
3.
Untuk Provinsi Papua (Irian
Jaya) dari total kawasan konservasi seluas 8,156 juta ha, lahan berhutan
sebanyak 66,0 %, Non hutan 12,6 % dan tidak ada data 21,4 %.
4.
Lahan berhutan pada kawasan
konservasi di DKI Jakarta hanya 8,9 % dari total luas daratan kawasan
konservasi seluas 272,34 ha, selebihnya didominasi oleh perairan seluas 108.000
ha.
C.
Rekalkulasi pada Hutan
Produksi
Penutupan lahan pada Hutan Produksi
dirinci menjadi Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi yang
dapat di-Konversi sebagaimana berikut:
1.
Hutan Produksi
Hasil perhitungan luas penutupan lahan pada Hutan
Produksi menunjukkan:
a.
Provinsi Papua memiliki 78,3 %
lahan berhutan. Sedangkan Provinsi lain yang masih memiliki lahan
berhutan diatas 60 % adalah Nangroe Aceh Darussalam, Riau, Jaa Tengah,
Kalimantan Tengah, Gorontalo dan Nusa Tenggara Barat.
b.
Provinsi yang memikili lahan
berhutan di bawah 40 % adalah Sumatera Selatan, Bangka Belitung, DI.
Yogyakarta, Bali dan Nusa Tenggara Timur.
c.
Provinsi yang memiliki hutan
produksi dengan luasan yang kecil adalah Bali seluas 2,1 ribu ha dengan
penutupan berhutan 7,3 %, DI. Yogyakarta seluas 12,6 ribu ha dengan penutupan
berhutan 7,5 % dan Banten seluas 27,5 ribu ha, dengan penutupan lahan berhutan
41,6 %.
Pada kawasan Hutan Produksi yang
umumnya diperuntukkan bagi pemanfaatan hasil hutan kayu, terdapat hanya lima
provinsi yang memiliki penutupan lahan berhutan di atas 60 %, sedangkan
provinsi lainnya sudah di bawah 60 %. Penutupan lahan dengan kriteria
hutan tanaman hasil kegiatan Hutan Tanaman Industri, terdata umumnya pada
Indonesia bagian Barat. Sedangkan di Indonesia bagian Timur, walaupun
sudah dilaksanakan kegiatan HTI namun hasilnya tidak dapat diamati dari hasil
penafsiran citra satelit, kecuali di Provinsi Papua. Oleh karena itu,
untuk memenuhi bertambahnya kebutuhan akan kayu khususnya pada Indonesia bagian
Timur, kegiatan hutan tanaman dapat menjadi prioritas kegiatan pada program
pembangunan kehutanan di wilayah tersebut.
2.
Hutan Produksi Terbatas
Hasil perhitungan luas penutupan
lahan pada Hutan Produksi Terbatas menunjukkan:
- Provinsi Papua memiliki lahan berhutan 90,5 % dan Kalimantan Tengah memiliki 84,3 % dari luas kawasan HPT yang ada. Provinsi lain yang memiliki lahan berhutan di atas 70 % adalah Provinsi Bengkulu, Kalimantan Timur, Gorontalo dan Nusa Tenggara Barat.
- Provinsi yang memiliki lahan berhutan di bawah 40 % adalah Provinsi Sumatera Selatan, Lampung dan Nusa Tenggara Timur. Sedangkan Provinsi Bali dengan kawasan HPT seluas 6,3 ribu ha, hanya 14,7 % yang berhutan.
Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT)
merupakan cadangan potensi kayu dan sumber benih permudaan alam. Dari hasil
rekalkulasi sumberdaya hutan pada seluruh provinsi, terdata memiliki penutupan
lahan berhutan yang umumnya kurang dari 70 % dengan penutupan hutan sekunder
yang lebih luas dibandingkan hutan primernya.
Seperti halnya pada hutan Produksi,
penutupan hutan tanaman di kawasan HPT sangat minim, kecuali Provinsi Sumatera
Utara dan Riau yang memilik hutan tanaman lebih luas dibandingkan hutan
primernya. Umumnya hutan tanaman terdapat pada Indonesia Bagian Barat, sedangkan
di Indonesia bagian timur terdapat hutan tanaman seluas 0,6 ribu ha di Provinsi
Papua.
Upaya regenerasi jenis-jenis kayu
unggulan dan langka, menjadi pertimbangan utama dalam rangka mempertahankan
keanekaragaman jenis flora yang ada di Indonesia. Tidak saja untuk jenis
kayu unggulan bagi perdagangan, melainkan pula guna mempertahankan ketersediaan
plasma nutfah yang terdapat di Hutan Produksi.
3.
Hutan Produksi yang
dapat di-Konversi
Hasil perhitungan luas penutupan
lahan pada Hutan Produksi yang dapat di-Konversi (HPK), menunjukkan:
- Tidak seluruh provinsi memiliki kawasan HPK, dan dari yang memiliki HPK Provinsi Sulawesi Utara memiliki lahan berhutan 84,4 %. Provinsi lain yang memiliki lahan berhutan di atas 60 % adalah Gorontalo dan Sulawesi Tengah. Papua dengan HPK seluas 8,783 juta ha memiliki penutupan lahan berhutan seluas 6.401,4 ribu ha atau 72,9%
- Provinsi lainnya memiliki lahan berhutan berkisar antara 30 % sampai 40 %, beberapa di bawah 20 % dan Provinsi Sumatera Selatan hanya 3,0 %. Khusus Pulau Jawa tidak memiliki kawasan hutan Produksi yang dapat dikonversi.
Hutan Produksi yang dapat di-Konversi
(HPK) adalah kawasan hutan diluar hutan tetap dan hanya beberapa provinsi
yang masih memilikinya, provinsi lainnya sudah memasukkan kawasan hutan ini ke
dalam Areal Penggunaan Lain (APL). Umumnya kawasan HPK diperuntukkan bagi
kegiatan transmigrasi dan perkebunan, dengan alternatif pelepasan kawasan
menjadi kawasan non hutan negara atau Areal Penggunaan Lain (APL). Dalam
kenyataannya kegiatan transmigrasi tidak selalu dilaksanakan sesuai ketentuan
dan hanya memanfaatkan potensi kayunya saja, sedangkan kegiatan perkebunan
memerlukan waktu yang lama untuk perizinannya. Akibat lebih lanjut adalah
timbulnya okupasi areal tersebut oleh masyarakat.
Dengan demikian, kebijakan
penghentian sementara pelepasan kawasan hutan masih memerlukan konsepsi yang
jelas mengenai pengelolaan kawasan hutan yang dapat dikonversi, sehingga
upaya pemanfaatan kawasan tersebut dapat memberikan jaminan kelestarian sumber
daya alam dan keberlangsungan pengusahaannya.
BAB
IV
BIOPROSPEKSI DALAM PENGELOLAAN HUTAN
A.
Tinjauan Filosofi Pengelolaan Hutan
Manusia
di alam sebagai obyek kehidupan sehingga manfaat segala sesuatu yang ada
dikaitkan dengan keperluan manusia itu sendiri. Berbagai sumberdaya yang ada di
alam ini disebut bermanfaat jika sumberdaya itu diperlukan oleh manusia. Hal
ini sesuai dengan ajaran islam yang menganggap bahwa manusia adalah mahluk
paling mulia dan paling sempunra dibanding mahluk lainnya termasuk malaikat.
Predikat mulia dan sempurna manusia tidaklah gratis melainkan mempunyai tugas
kehalifaan yaitu memakmurkan bumi dan isinya.Tugas kehalifaan adalah perintah
Allah SWT bagi umat islam sehingga merupakan kewajiban yang akan
dipertanggungjawabkannya kepada sang Pencipta. Salah satu tugas kehalifaan itu
adalah pengelolaan sumberdaya alam yang berwawasan lingkungan.
Kelalaian
manusia dalam pengelolaan sumberdaya alam akibatnya akan dialami oleh manusia
itu sendiri. Karena itu bencana alam dan berbagai perubahan ekologis yang
terjadi dibelahan bumi ini sebagai akibat perbuatan manusia itu sendiri.
Manusia dalam melakukan tugas kehalifaannya Allah SWT memberikan modal utama
kepadanya yaitu akal dan pikiran yang tidak diberikan kepada mahluk lainnya
termasuk malaikat. Akan tetapi pada waktu yang sama manusia diberikan nafsu
untuk menikmati berbagai fasilitas yang ada di alam ini. Penggunaan nafsu yang
tidak sesuai dengan sunatullah (hukum alam) dalam memanfaatkan sumberdaya alam
yang ada akan menimbulkan berbagai bencana terhadap sumberdaya lain termasuk
manusia itu sendiri.
Hutan
adalah salah satu sumberdaya alam yang harus dimanfaatkan sesuai dengan
hukum-hukum alam dan dipertanggungjawabkan kepada Penciptanya. Hutan yang
menyediakan berbagai sumberdaya untuk keperluan manusia boleh dikelolah secara
ekonomi tetapi berawawasan lingkungan. Pengelolaan hutan yang tidak
memperhatikan fungsi hutan akan berakibat pada manusia itu sendiri. Karena itu
pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan merupakan kewajiban bagi umat
manusia yang merupakan bagian dari tugas kehalifaannya.
B.
Apa itu Bioprospeksi
Secara
filosofi potensi atau fungsi sumberdaya alam dalam kehidupan manusia tergantung
pada jumlah dan jenis senyawa kandungannya. Sumberdaya alam yang berfungsi sebagai
bahan pangan karena senyawa kandungannya yang paling dominan adalah protein,
karbohidrat, dan lipid-lipid; vegetasi yang digunakan bidang perkayuan karena
mengandung senyawa-senyawa polifenol, selulosa, dan lignin-lignin dengan
perbandingan tertentu; sumberdaya sebagai sumber energi karena mengandung
senyawa-senyawa hidrokarbon; sumberdaya hayati yang digunakan sebagai
obat-obatan, agrokimia, dan material sains karena mengandung senyawa-senyawa
alkaloid, terpen-terpen, flavonoid; dan vegetasi yang dominan mengandung
selulosa digunakan sebagai bahan dasar kertas serta berbagai contoh lainnya.
Variasi dan komposisi senyawa-senyawa tersebut yang menjadikan sumberdaya
hayati bernilai ekonomi tetapi nilai ekonomi itu pula yang memicu kerusakan
sumberdaya hutan karena dimanfaatkan atau dieksploitasi secara berlebihan.
Potensi
sumberdaya hayati yang umum diperlukan manusia adalah bahan untuk keperluan
perumahan, bahan dasar pakaian, bahan perabotan, dan bahan pangan.
Potensi-potensi tersebut didasarkan pada variasi dan komposisi senyawa
kandungan spesies. Pemanfaatan spesies sumber pangan telah dilakukan secara
berkelanjutan karena spesies-spesiesnya memiliki daur hidup yang pendek
sehingga mudah dibudidayakan. Berbeda dengan spesies sumber non-pangan umumnya memiliki
daur hidup yang panjangsehingga termasuk kategori sumberdaya alam
takterpulihkan.
Pemanfaatan sumberdaya non-pangan
menimbulkan masalah ekologis karena sukar regenerasi. Sumberdaya yang
berpotensi untuk bahan perumahan, bahan perabotan, dan pakaian umumnya adalah
vegetasi dan bagian yang dimanfaatkan adalah batang atau perkayuan. Bentuk
pemanfaatan inilah yang menyebabkan semakin berkurangnya keanekaragaman hayati
dan meluasnya lahan gundul pada negara-negara pemilik hutan termasuk Indonesia.
Potensi senyawa kandungan spesies
yang belum termanfaatkan dengan baik adalah alkaloid, terpen-terpen,
fenol-fenol, dan flavanoid. Potensi utama kelompok senyawa tersebut adalah
sebagai obat-obatan, agrokimia, dan material sains. Menurt Wildman (2000)
potensi tersebut memiliki nilai ekonomi yang sama dengan perkayuan jika
dikelolah secara baik. Kimia bahan alam suatu bidang ilmu yang berperan dalam
kegiatan pemanfaatan spesies sebagai sumber obat-obatan, agrokimia, dan
material sains.
Rangkaian kegiatan pemanfaatan
sumberdaya hayati dalam bidang obat-obatan, agrokimia, dan material sains
disebut bioprospeksi yang meliputi kegiatan eksplorasi potensi spesies, teknik
pemanfaatan, dan pengembangan potensi melalui modifikasi struktur molekul
senyawa kandungannya. Ekplorasi potensi senyawa suatu penelitian untuk
menemukan senyawa kandungan spesies sehingga memudahkan dalam pencarian teknik
pemanfaatan serta pengembangan atau perluasan manfaat. Dengan demikian
pengertian bioprospeksi adalah kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati dalam
bidang obat-obatan, agrokimia, dan material sains. Potensi obat-obatan dan
agrokimia berdasarkan sifat bioaktif senyawa kandungan suatu spesies sedangkan
material sains didasarkan pada profil struktur molekul senyawa yang prospek
dikembangkan atau dimodifikasi.
C.
Apakah Bioprospeksi
Berwawasan Lingkungan
Pemanfaatan hasil hutan yang
dilakukan selama ini oleh berbagai negara pemilik hutan adalah bidang perkayuan
sehingga potensi hutan identik dengan perkayuan. Nilai ekonomi perkayuan sangat
tinggi sehingga telah menjadi sumber devisa negara pemilik hutan termasuk
Indonesia. Nilai ekonomi tersebut semakin meningkat dengan ditemukannya
berbagai teknologi pengolahan kayu. Fenomena ini mempercepat penurunan
keanekaragaman hayati karena vegetasi yang berpotensi ekonomi tinggi umumnya
sukar bahkan tak dapat dibudidayakan. Kualitas perkayuan tergambar dari
performan sifat fisika batang vegetasi dan perfeorman ini berasal dari variasi
dan komposisi senyawa kandungannya.
Menurut kimia bahan alam semua vegetasi
berpeluang mengandung metabolit yang berpotensi bioprospeksi yang tersebar
dalam semua organ sehingga tidak ada perbedaan potensi antara batang, daun,
kulit batang, dahan, bunga, dan buah. Apabila suatu kelompok senyawa tersebut
ditemukan dalam akar juga dapat ditemukan pada organ lain tetapi berbeda
kuantitas. Kuantitas senyawa tersebut dapat ditingkatkan dengan cara
biotransformasi.
Permasalahan utama dalam bioprospeksi
adalah diperlukan data base senyawa beserta potensinya dari seluruh organ
spesies untuk keperluan rekayasa pemanfaatan. Eksplorasi data base tersebut
diperlukan sumberdaya manusia yang handal dan fasilitas kimia yang memadai.
Karena itu konsep bioprospeksi belum dapat diterapkan dalam pengelolaan
sumberdaya hutan karena negara-negara pemilik hutan umumnya adalah negara
berkembang atau miskin. Namun demikian kegiatan bioprospeksi telah dilakukan
melalui proyek penelitian dan tugas akhir mahasiswa jurusan Kimia dan Farmasi
di berbagai negara dalam prespektif ilmu pengetahuan, sehingga data base
beberapa spesies telah diketahui dengan baik.
Data base tersebut dapat digunakan
oleh negara-negara pemilik hutan untuk mengembangkan bioprospeksi dalam
pengelolaan sumberdaya hayati yang dimilikinya. Data base potensi senyawa
kandungan seluruh organ spesies mutlak diperlukan dalam kaitannya dengan
alternatif pemilihan organ spesies yang akan dimanfaatkan. Pada spesies
vegetasi yang memiliki daur hidup panjang atau tidak dapat dibudidayakan organ
yang dapat dimanfaatkan adalah daun atau buah jika ada.
Pemanfaatan organ tersebut tidak
mengganggu kelangsungan hidup spesies sehingga dipandang sebagai strategi
pemanfaatan sumberdaya alam yang berwawasan lingkungan. Vegetasi yang dapat
dibudidayakan seluruh organnya dapat dimanfaatkan sehingga memiliki nilai
ekonomi yang lebih tinggi.
Fakta menunjukkan bahwa banyak
sumberdaya hayati di sekitar kita belum termanfaatkan bahkan dianggap sebagai
gulma atau hama pengganggu spesies lain. Menurut kimia bahan alam semua spesies
berpotensi berdasarkan komposisi dan variasi senyawa kandungannya. Profil
potensi senyawa kandungan spesies tersebut perlu diungkap sehingga dapat
digunakan dalam kehidupan ini. Bioprospeksi berorientasi pada optimalisasi potensi seluruh sepesies
sehingga spesies yang dianggap liar atau gulma menjadi spesies budidaya.
Terungkapnya
potensi seluruh spesies dan semua organ spesies akan memicu eksploitasi spesies
itu sebagaimana yang dilakukan terhadap vegetasi bidang perkayuan. Karena itu
konsep bioprospeksi tidak mutlak aman terhadap kelangsungan hidup spesies
terutama pada spesies yang memiliki daur hidup panjang atau takterpulihkan.
Konsep bioprospeksi berwawasan lingkungan dalam pemanfaatan spesies yang
takterpulihkan jika bagian yang digunakan adalah bukan organ vital bagi
kelangsungan hidup spesies itu. Terhadap vegetasi tersebut konsep bioprospeksi
berwawasan lingkungan jika bagian yang dimanfaatkan adalah daun atau buah jika
ada, sedangkan vegetasi yang mudah dibudidayakan dapat menggunakan seluruh
organnya. Dengan demikian bioprospeksi akan berawawasan
lingkungan untuk pengelolaan sumberdaya hayati jika dilakaun dengan sistem
manajemen yang tepat.
D.
Prospek Bioprospeksi di
Indonesia
Indonesia memiliki hutan yang luas
dan keanekaragaman hayati yang banyak. Hasil hutan Indonesia yang telah
dimanfaatkan secara besar-besaran dan telah menjadi sumber devisa negara dan
pendapatan masyarakatnya adalah vegetasi perkayuan. Pemanfaatan sumberdaya
vegetasi bidang perkayuan tersebut telah mengakibatkan semakin menurunnya
keanekeragaman hayati dan meluasnya lahan gundul. Meskipun demikian eksploitasi
hutan Indonesia merupakan kebijakan pemerintah melalui Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) yang terus dilakukan.
Perubahan iklim mikro dan makro telah
terjadi sehingga bencana banjir dan kemarau dibeberapa daerah di Indonesia
silih berganti. Peran ekologis vegetasi semakin menurun karena banyaknya
vegetasi penutup lahan yang hilang, sedangkan aktivitas manusia yang melepaskan
aneka gas di udara juga semakin meningkat. Fenomena ini telah banyak
menimbulkan masalah termasuk kesehatan masyarakat. Fungsi vegetasi penutup
lahan sangat penting sehingga diperlukan pendekatan alternatif pengganti
perkayuan dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Bioprospeksi dapat digunakan sebagai
alternatif strategis pemanfaatan sumberdaya hutan pengganti perkayuan. Potensi bioprospeksi dapat diketahui
dua cara yaitu melalui cara tradisional dan ilmiah. Banyak sumberdaya hayati di
Indonesia telah diketahui potensinya melalui kedua cara tersebut. Potensi
spesies-spesies tersebut perlu dilakukan penilaian ekonomi sehingga konsep
bioprospeksi dapat diterapkan secara formal dalam pengelolaan hutan.
Pendekatan
ekologis dalam pemeliharaan hutan di Indonesia belum dapat dilakukan karena
hutan masih merupakan sumber devisa negara dan pendapatan masyarakatnya.
Eksploitasi hutan alam yang dilakukan selama ini dapat dihentikan melalui
pendekatan ekonomi yang berwawasan lingkungan. Indonesia memiliki berbagai
spesies endemik dan non-endemik berpotensi bioprospeksi yang perlu dikelolah
secara baik yaitu bernilai ekonomi tinggi dan berwawasan lingkungan sehingga
dapat menggantikan bidang perkayuan.
Pengelolaan dengan sistem
bioprospeksi dapat dilakukan di Indonesia sehubungan dengan potensi sumberdaya
hayatinya yang banyak. Penerapan konsep ini diperlukan landasan hukum oleh
pemerintah pusat atau daerah. Dalam kaitannya dengan undang-undang Nomor 22
tahun 1999 tentang otonomi daerah pengelolaan sumberdaya alam dapat dilakukan
oleh pemerintah daerah. Dengan demikian konsep bioprospeksi prospek dilakukan
di Indonesia terutama daerah yang memiliki sumberdaya hutan yang cukup.
Sebagai reaksi atas masih berlangsungnya penggunaan
paradigma lama di dalam pengelolaan sumber daya hutan, sudah waktunya dibangun
wacana dan paradigma baru yang lebih berorientasi pada kesejahteraan masyarakat
di sekitar dan di dalam hutan juga ekologinya. Negara harus melibatkan dan
memasukan dimensi masyarakat lokal ke dalam kebijakan pengelolaan sumber daya
hutan.
Gagasan yang strategis ini tentu saja harus didukung
dengan fakta-fakta lapangan, bahwa pengelolaan dan pengusahaan hutan yang tidak
memberi akses, mengakomodasi dan melibatkan partisipasi rakyat terbukti tidak
efektif dan efisisen. Serta membuktikan kalau komunitas-komunitas lokal
memiliki kearifan tradisional yang bernuansa ekonomis, ekologis dan mampu
menyelenggarakan pengelolaan sumber daya hutan secara lestari.
Implementasi model pengelolaan yang berbasiskan rakyat
menuntut perubahan-perubahan yang tidak hanya pada tatanan peraturan
perundang-undangan, struktur kelembagaan, administrasi dan prosedur, tetapi
juga perubahan metode, strategi, teknik-teknik partisipatif, termasuk perubahan
sikap dan perilaku aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya
hutan. (Rakhmat Hidayat, Deputi Direktur Komunitas Konservasi Indonesia
(KKI) Warsi). perkebunan besar swasta, HPH dan HTI yang justu semakin
memporak-porandakan bentuk-bentuk pengelolaan tradisional mereka. Sampai saat
ini, manusia masih memerlukan dukungan hasil sumberdaya hutan untuk
mempertahankan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya. Sehingga keberadaan
hutan secara signifikan merupakan factor yang strategis dalam kerangka
pembangunan umat manusia.
Hutan mempunyai kedudukan dan peranan sangat penting
dalam menunjang keberhasilan pembangunan nasional. Hal ini disebabkan hutan
sebagai sumber kekayaan alam yang bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat Indonesia. Hutan sebagai salah satu penentu sistem kehidupan manusia dan
memberikan manfaat serbaguna yang dibutuhkan sepanjang masa guna pemenuhan
kebutuhan manusia terhadap produk-produk dan jasa hutan .
Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem
penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat
manusia, Oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan juga mempunyai
peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga
keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap
mengutamakan kepentingan nasional.
Konsep hutan dikuasai negara sebagaimana diatur dalam UU
Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang mengacu pada pasal
33 UUD 1945 dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat. Hal ini juga ditegaskan
dalam Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi
daerah; pengaturan pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam rangka Negara
Kesatuan Repbulik Indonesia.
Ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut
adalah delegation of authority yaitu suatu penyerahan sebagian urusan
pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan kepada pemerintah daerah dalam
rangka mengikutsertakan peran pemerintah daerah untuk membantu pemerintah pusat.
Kewenangan pengelolaan yang ada pada UU Nomor 41 Tahun
1999 UU Nomor 19 Tahun 2004, berhubungan
dengan aturan perundang-undangan lainnya. Dapat dikatakan undang-undang ini
lintas sektoral. Antara lain dapat kita cermati pada UU Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU Nomor 24 Tahun 1992 jo
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU Nomor 22 Tahun 1999 jo UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 1 angka 7 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dirumuskan “desentraliasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuhan Republi Indonesia”.
Terkait dengan kewenangan dalam hal pengelolaan sumber daya alam termasuk dalam
hal ini sumber daya hutan, sudah diatur pada pasal 10 ayat (1) Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bahwa “daerah berwenang mengelola
sumber daya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggungjawab memelihara
kelestarian lingkungan sesuai dengan perundang-undangan. Namun, pasal 7 sangat
kontradiktif dengan pasal 10 UU Nomor 22 Tahun 1999. Hal ini karena
ada pemahaman bahwa pengelolaan sumber daya hutan termasuk kewenangan
pemerintah pusat.
Pemanfaatan sumber daya alam, termasuk hutan diatur pada
pasal 17 dan pasal 18 UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi,
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Pengelolaan sumber daya hutan sebagai kekayaan negara
dalam kerangka Negara Kesatuhan Repbulik Indonesia (NKRI), merupakan hak
negara. Philipus M Hadjon menjelaskan secara konstitusional wewenang
negara terkait kekayaan negara dibedakan atas dua (2) bagian yakni:
- Pemerintahan mempunyai hak untuk memiliki kekayaan negara secara domein privat. Dasar perolehannya secara konstitusi pasal 23 UUD 1945 pada Bab VIII tentang keuangan;
- Hak pemerintah terhadap kekayaan negara sebagai domein publik dasar konsitusinya ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Bab XIV tentang perekonomian Naional dan Kesejahteraan Sosial.
Di sisi lain wewenang pengusahaan hutan dapat kita lihat pada pasal
4 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004. Bunyinya,
pengusahaan hutan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi
wewenang kepada Pemerintah Pusat untuk:
a.
Mengatur dan mengurus segala
sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b.
Menetapkan status wilayah
tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan;
dan
c.
Mengatur dan menetapkan
hubungan hkum antara orang dan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum
mengenai kehutanan.
Kedepan, kewenangan pengelolaan yang sudah ada aturanya, seharusnya
ada sinkronisasi pada pola pembagian kewenangan pengelolaan sumber daya hutan
antara pemerintah pusat dan daerah.
Semenjak
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 1957 tentang Penyerahan
Sebagian Dari Urusan Pemerintah Pusat di Lapangan Perikanan Laut, Kehutanan,
dan Karet Rakyat kepada Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I, Pemerintah Indonesia
terus menerus melakukan berbagai perubahan kebijakan untuk mendesentralisasikan
sebagian urusan pemerintahan.
Pada tahun 1974 Pemerintah menerbitkan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 38; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037), yang kemudian
dipandang tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah dan
perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti dengan Undang- Undang No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang yang terakhir inipun kemudian
dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan ketatanegaraan dan
tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga pada tahun 2004 pemerintah
sekali lagi menerbitkan Undang-Undang No.32/2004 tentang Pemerintah berbagai
perubahan kebijakan desentralisasi pengurusan sumberdaya hutan sejalan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi pada kebijakan desentralisasi. Lebih lanjut,
dalam makalah ini juga dibahas dampak perubahan kebijakan tersebut terhadap
kondisi kawasan dan sumberdaya hutan di Indonesia, serta pengaruhnya terhadap
kesejahteraan masyarakat, terutama yang berada di dalam maupun di sekitar
kawasan hutan. Periode Pemerintahan Kolonial Belanda Hingga 1957 Sejarah
pengurusan sumberdaya hutan di Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaruh
pengurusan sumberdaya ini oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Peraturan mengenai kehutanan pertama diterbitkan pada
pemerintahan Daendels tahun 1808 yang lebih banyak mengurus sumberdaya hutan di
Pulau Jawa, sedangkan sumberdaya hutan di luar Jawa belum menjadi perhatian
sama sekali. Situasi seperti ini terus berlanjut hingga Indonesia mencapai
kemerdekaan pada tahun 1945. Pada masa-masa awal pemerintahan Indonesia setelah
kemerdekaan, beberapa peraturan peninggalan dari masa kolonial Belanda masih
diberlakukan, antara lain Bosordonantie tahun 1927 yang mengatur
keseluruhan pengurusan hutan, dan ordonansi tahun 1931 yang mengatur satwa liar
(Djajapertjunda, 2002). Semua peraturan tersebut menggambarkan sifat
sentralistik pengurusan sumberdaya hutan di masa itu, di mana keputusan
mengenai kehutanan di Pulau Jawa secara keseluruhan masih berada pada
Pemerintah Pusat. Pada masa itu Pulau Jawa masih merupakan wilayah produksi
pangan yang relatif cukup baik dan pertanian pangan menjadi bagian dari
kehidupan rakyat, sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat tidak
begitu tergantung pada sumberdaya hutan. Pada tahun 1957 pemerintah menegaskan
bahwa kewenangan pengurusan sumberdaya hutan di luar Pulau Jawa berada pada
Pemerintah Provinsi. Melalui Peraturan Pemerintah Provinsi untuk mengusulkan
areal-areal tertentu sebagai kawasan hutan; di sisi lain
Pemerintah Pusat melalui instansi-instansinya di daerah
terlibat dan memainkan peran yang penting dalam perumusan Tata Gunah Hutan
Kesepakatan di tiap provinsi. Selain itu, Pemerintah Pusat melalui Direktorat
Jenderal Kehutanan mengesahkan Tata Guna Hutan setiap provinsi, sehingga secara
kritis banyak pihak mengatakan bahwa pengalokasian dan pencadangan kawasan
hutan di daerah merupakan bagian dari sentralisasi urusan kehutanan
Sifat sentralistik urusan kehutanan ini menjadi semakin
terlihat dari peran Pemerintah Pusat dalam memberikan Hak Pengusahaan Hutan
pada kawasan hutan Produksi yang dialokasikan sekitar 60 juta hektar di seluruh
Indonesia. Pada masa ini eksploitasi hutan ditingkatkan dalam rangka memacu
perolehan devisa untuk mengatasi situasi ekonomi nasional yang sangat
memprihatinkan. Pemerintah Pusat mengendalikan operasi ekploitasi hutan melalui
berbagai peraturan dan perencanaan, sementara Pemerintah Daerah hanya
mengendalikan kegiatan operasional lapangan. Dalam beberapa hal kondisi ini
telah membantu perekonomian nasional dari sisi perolehan devisa dan pembangunan
industri-industri dalam rangka transformasi ekonomi nasional menuju ke
perekonomian industri. Namun demikian ekstraksi sumberdaya hutan yang terjadi
pada waktu itu telah banyak merubah bentang alam yang semula berupa virgin
forests menjadi secondary forests. Selain itu hak-hak masyarakat adat dan
masyarakat setempat yang selama ini secara de facto diakui menjadi tersisih
oleh adanya hak-hak pengusahaan yangsecara legal formal diperoleh melalui
peraturan yang ada.
Hak-hak masyarakat atas tanah mulai diperbaiki dengan
adanya Instruksi Menteri Dalam Negeri pada tahun 1972 kepada Camat seluruh
Indonesia untuk memberikan Surat Keterangan Tanah (SKT) seluas 2 ha kepada Kepala
Keluarga masyarakat yang telah lama
menempati tanah untuk pemukiman dan usaha pertaniannya. Melalui
kebijakan ini dimaksudkan ada keberpihakan pemerintah kepada masyarakat untuk
memperoleh hak yang selama ini belum mendapat pengakuan karena ketidak berdayaan
mereka dalam mengurus hak. Namun demikian, kebijakan yang baik ini banyak
dimanfaatkan oleh para pihak yang seharusnya tidak berhak, untuk menguasi
tanah, sehingga pada tahun 1979. Menteri Dalam Negeri mencabut kebijakan ini
untuk menghindari penguasaan tanah yang tidak semestinya, yang diperkirakan
malah akan semakin merugikan masyarkat adat danmasyarakat setempat.
Reformasi 1998
Pengaruh negatif pemerintahan yang
bersifat sentralistik terhadap sumberdaya alam dan masyarakat ternyata
berlangsung bersamaan dengan kondisi politik yang semakin tidak kondusif dalam
era Orde Baru yang berjalan selama 32 tahun, sehingga menimbulkan gerakan
reformasi yang menjatuhkan rezim Orde Baru pada tahun 1998.
Gerakan reformasi ini diikuti dengan semangat desentralisasi
seluruh urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah,
termasuk urusan kehutanan.
Hal ini ditandai dengan terbitnya Undang-Undang No. 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No.22/1999) dan Peraturan Pemerintah
No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai
Daerah Otonom.
Dalam UU dan PP tersebut sebagian besar urusan kehutanan
didesentralisasikan ke Pemerintah Daerah, di mana dalam hal ini pelaksanaan
operasional urusan kehutanan telah banyak dilimpahkan ke Pemerintah Kabupaten.
Beberapa studi melaporkan bahwa meskipun desentralisasi
kehutanan pada era ini dimaksudkan memutar kembali pendulum urusan kehutanan
kearah Pemerintah Daerah (sentralisasi) yang diharapkan akan memperbaiki
kondisi sumberdaya hutan dan masyarakat, namun pada kenyataanya masih
mengandung banyak kelemahan sehingga belum memberikan hasil yang memuaskan. Hal
ini ditandai antara lain oleh tidak berjalannya komunikasi dan koordinasi yang
baik antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah Beberapa pandangan
menyatakan bahwa kelemahan ini terjadi karena Undang-Undang Pemerintahan Daerah
No. 22/1999 tidak secara tegas mengatur hirarki dan hubungan keterkaitan antar
tingkatan pemerintah; dan oleh karena itu maka otonomi daerah yang seharusnya
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip Negara kesatuan, pada kenyataannya
telah dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip pemerintahan suatu negara
federasi
Dengan persepsi seperti itu maka hubungan antara
Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat selama masa itu, dapat dikatakan
terbatas pada urusan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan,
agama, serta moneter dan fiskal yang yang mutlak menjadi urusan Pemerintah
Pusat
Beberapa urusan kehutanan di tingkat pusat dan provinsi
serta kabupaten/kota tidak berjalan secara harmonis, antara lain dalam
penetapan kebijakan, serta pemberian ijin pemanfaatan hasil hutan, peredaran
hasil hutan, pemberian ijin pertambangan di dalam kawasan, dan perubahan status
dan fungsi kawasan hutan. Tumpang tindih penggunaan dan pemanfaatan sering
terjadi di kawasan hutan dalam wilayah pemerintahan kabupaten, di mana
ijin-ijin yang telah diatur oleh keputusan Pemerintah Pusat tertumpangi oleh
ijin- ijin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten; dan sebaliknya,
ijin-ijin yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat sering konflik dengan ijin
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Demikian pula tumpang tindih antara
kebijakan dan peraturan kehutanan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
dengan Peraturan Daerah, atau sebaliknya, sangat sering terjadi dan
masing-masing satu sama lain saling mengabaikan. Situasi yang kurang baik itu
disebabkan di satu pihak oleh kurangnya informasi dan pemahaman Pemerintah
Daerah tentang produk-produk hukum terkait dengan urusan kehutanan di wilayah
itu, yang dalam UU Pemerintahan Daerah masih dihormati; di pihak lain,
Pemerintah Pusat kurang menyadari kemungkinan terjadinya situasi tersebut
sehingga tidak melakukan antisipasi yang tepat. Hal lain yang menyebabkan situasi
tersebut adalah karena apresiasi sebagian besar Pemerintah Daerah terhadap
hutan sebagai sistem penyangga kehidupan masih sangat kurang; hutan
dipersepsikan semata-mata sebagai sumber keuangan daerah yang bersifat bisa
memperbarui sendiri.
Dari situasi ini terjadi eksploitasi sumberdaya secara
berlebihan serta konversi kawasan hutan
yang kurang terkendali untuk kepentingan mendesak jangka pendek. Hal lain,
telah terbentuk persepsi tentang ketidak pastian usaha akibat tidak adanya
kepastianhukum bagi pemegang hak, yang tidak dihormati oleh Pemerintah Daerah.
Hal ini sangat terlihat dari banyaknya konflik-konflik yang timbul di antara
‘pengusaha lama’ dan‘pengusaha baru’ , konflik antara pengusaha dengan
masyarakat, maupun antara masyarakat dan pengusaha di satu pihak dengan
Pemerintah Daerah di pihak lain.
Adapun konflik kebijakan yang sangat menonjol terlihat
pada fenomena pembangunan kota-kota baru untuk mendukung pemekaran wilayah
pemerintah, yang tidak memperhatikan
keseimbangan ekosistem, lingkungan hidup, dan kelestarian sumberdaya alam
hayati sehingga menimbulkan kerusakan kawasan hutan dan terancamnya keragaman
hayati dan habitat. Situasi seperti itu berkembang selama periode 1999-2004 dan
memunculkan pendapat dan penilaian umum bahwa proses desentralisasi telah
‘kebablasan’ atau berlebihan (excessive), dan untuk urusan kehutanan
proses ini berlangsung sangat nyata
Hal lain yang menandai kurang memuaskannya proses
desentralisasi di bidang kehutanan pada masa itu adalah tidak terlaksananya
beberapa urusan yang seharusnya dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Sebagai
contoh, berdasarkan kewenangan yang diatur pada masa itu, Pemerintah Provinsi
seharusnya melaksanakan pengelolaan Hutan Lindung disamping mengelola Hutan
Produksi, sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota antara lain berkewajiban untuk
melakukan penataan batas kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di wilayahnya; namun pada
kenyataannya kewenangan tersebut tidak
dilaksanakan. Tidak terlaksananya pengelolaan Hutan Lindung menjadikan
kawasan tersebut terlantar dan mengalami gangguan sehingga fungsinya sebagai
pelindung system tanah dan air terganggu. Tidak dilaksanakan tugas penataan
batas Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung mengakibatkan proses pengukuhan
kawasan hutan menjadi sangat terlambat yang berakibat pada kurang mantapnya
eksistensi kawasan hutan
Fenomena ini terjadi karena beberapa sebab yang satu
sama lain saling terkait. Pertama, selama ini kemampuan pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota dalam menjalankan wewenangnya belum memadai, sementara itu
dukungan teknis pemerintah pusat sangat kurang, sehingga secara teknis output
pembangunan kehutanan yang terdesentralisasi dinilai lebih buruk dibanding
masa-masa sebelumnya. Kedua, Pemerintah Pusat sangat terlambat dalam memberikan
berbagai pedoman (norma, prosedur, standar dan kriteria) untuk pelaksanaan
berbagai urusan di Provinsi dan Kabupaten/kota, yang selama ini dilaksanakan
oleh Pusat, sehingga pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota cenderung
melaksanakan pembangunan tanpa mempertimbangkan ekternalitas negative yang
terjadi di luar wilayahnya. Ketiga, meskipun sudah ada Undang-Undang tentang
perimbangankeuangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Pada kenyataannya, Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota masih mengalami kesulitan dana untuk melaksanakan
kewenangan-kewenangan tersebut; hal ini mengakibatkan beberapa kewenangan tidak
dapat dilaksanakan dengan baik. Keempat, ada kecenderungan Pemerintah Provinsi
dan Kabupaten/Kota untuk mengutamakan pelaksanaan wewenang yang secara langsung
memberikan penerimaan dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD), ketimbang
wewenang yang berkonsekuensi pada pengeluaran. Meskipun di beberapa kabupaten
dampak positif desentralisasi terlihat dari pergerakan perekonomian (terutama di
perkotaan), secara umum untuk bidang kehutanan mengalami dampak yang kurang
baik, antara lain terlihat dari adanya kecenderungan eksploitasi hutan secara
berlebihan, dan kecenderungan konversi kawasan yang kurang terkendali, sehingga
meningkatkan laju deforestasi dan degradasi.
Fenomena lain yang juga dipandang tidak kalah
memprihatinkan adalah munculnya berbagai kebijakan dan peraturan daerah,
terutama di kabupaten, yang justru berlawanan dengan tujuan desentralisasi
dalam meningkatkan pelayanan umum, termasuk pelayanan dan administrasi berbagai
kegiatan pengusahaan hutan, dan pelayanan kepentingan masyarakat lainnya. Iklim
usaha di bidang kehutanan mengalami hambatan baru dengan munculnya berbagai
kebijakan tambahan dari daerah; sementara tujuan desentralisasi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat belum memperlihatkan arah perbaikan. Sehingga
secara umum berkembang pendapat bahwa kebijakan desentraliasi telah menimbulkan
eforia pemerintahan daerah yang berlebihan dan tidak proporsional, serta ‘melenceng’
dari tujuan desentralisasi itu sendiri. Dengan situasi ini serta dengan memperhatikan
dampak yang kurang baik dari situasi tersebut, maka muncul berbagai desakan
untuk mengkoreksi dan menyempurnakan Undang-Undang Pemerintahan Daerah
No.22/1999, dan Peraturan Pemerintah mengenai Pembagian Urusan Pemerintahan No.
25/2000.
Kebijakan Baru setelah 2004
Belajar dari pengalamam desentralisasi pemerintahan pada
masa 1999-2004, maka Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat melakukan
koreksi dan penyempurnaan atas Undang-Undang No. 25/1999 dan menerbitkan
Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 32/2004 sebagai pengganti Undang-Undang
sebelumnya. Dengan undang-undang yang baru ini diharapkan akan dicapai
efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan negara dengan
memperhatikan hubungan antar susunan pemerintah dan antar pemerintah daerah,
serta potensi dan keanekaragaman masing-masing daerah, sekaligus dalam rangka
menghadapi peluang dan tantangan persaingan global. Dengan undang-undang yang
baru ini juga diharapkan agar kewenangan Pemerintah Daerah yang luas disertai
hak dan kewajiban penyelenggaraan otonomi daerah, benar-benar dilaksanakan
dalam suatu kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Secara prinsip Undang-Undang No.32/2004 sudah mengatur
hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat, yang terkait dengan
wewenang, keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumberdaya alam dan
sumberdaya lainnya. Disamping itu, dalam Undang-Undang ini dinyatakan pula
bahwa suatu Pemerintah Daerah juga mempunyai hubungan dengan Pemerintah Daerah
Lainnya. Dari adanya pengaturan hubungan antar pemerintah tersebut maka terjadi
hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan. Hal ini
merupakan salah satu pokok penyempurnaan, karena pada Undang-Undang
Pemerintahan Daerah yang lama, pengaturan seperti ini tidak secara tegas
dicantumkan dan oleh karena itu pelaksanaan desentralisasi di masa lalu
mengakibatkan ketidak harmonisan pembangunan Pusat dan Daerah.
Menurut Undang-Undang ini, pembagian urusan pemerintahan
harus didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi,
dengan tetap memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Hal
ini berarti bahwa dengan adanya hubungan antara Pemerintah Daerah dengan
Pemerintah Pusat, serta hubungan di antara Pemerintah Daerah, maka pembagian
wewenang atas suatu urusan pemerintahan harus mempertimbangkan: i) sampai di
manakah eksternalitas pelaksanaan suatu urusan pemerintahan yang dilaksanakan
di suatu wilayah pemerintahan akan terjadi, ii) di level pemerintahan yang
manakah bobot tanggung jawab atas pelaksanaan suatu urusan pemerintahan
selayaknya diletakkan, dan iii) di level pemerintahan yang manakah pelaksanaan
kegiatan pemerintahan tersebut secara rasional dianggap efisien. Undang-undang
ini secara lebih realistis juga menyatakan bahwa urusan pemerintahan yang bisa
dilaksanakan bersama oleh Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota,
berdasarkan sifatnya dibedakan ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah
urusan pemerintahan yang bersifat wajib untuk dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah berdasarkan standar pelayanan minimal; dan kategori kedua adalah urusan
yang bersifat pilihan, yang secara nyata ada di wilayah dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Urusan kehutanan dalam hal ini merupakan
urusan yang bersifat pilihan bagi Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Dengan adanya perubahan prinsip-prinsip pemerintahan
daerah melalui Undang-Undang yang baru, maka pemerintah perlu menyempurnakan
Peraturan Pemerintah yang mengatur pembagian wewenang seluruh urusan
pemerintahan. Dengan berpegang pada pengalaman masa lalu maka penyempuranaan
peraturan ini dilakukan dengan lebih cermat dan berhati-hati dengan melibatkan
sebanyak mungkin para pihak yang terkait secara sektoral maupun teritorial
sesuai prinsip tata kelola pemerintah yang baik (good governance).
Setelah berproses selama tiga tahun maka pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah No. PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, sebagai
pengganti Peraturan Pemerintah No.25/2000 yang mengatur hal sama. Peraturan
Pemerintah yang mulai berlaku sejak tanggal 9 Juli 2007 ini memberlakukan
urusan-urusan Pemerintahan Pusat yang tidak dilaksanakan bersama oleh semua
tingkatan pemerintahan sebagaimana dimaksud oleh Peraturan Pemerintah yang
lama. Di luar urusan-urusan itu terdapat 31 urusan pemerintahan, di luar urusan
pengelolaan kawasan konservasi, yang secara tegas dibagi kewenangan
pelaksanaannya masing-masing di antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pemerintah Pusat bisa melaksanakan sendiri urusan
pemerintahan yang menjadi wewenangnya,
atau melimpahkan kepada instansi vertikal atau Gubernur dalam rangka
dekonsentrasi. Selain itu Pemerintah Pusat juga bisa menugaskan sebagian urusan
yang menjadi wewenangnya kepada Pemerintah Daerah melalui tugas pembantuan.
Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ini juga bisa dilakukan oleh
Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah atau Pemerintah Desa untuk urusan-urusan
pemerintahan yang dibagi dengan Pemerintah Daerah. Ketentuan yang sama,
pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan juga bisa dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi ke Pemerintah Kabupaten/Kota atau Pemerintah Desa; dan
Pemerintah Kabupaten/Kota bias mendekonsentrasikan dan memberikan tugas
pembantuan urusan pemerintahannya ke Pemerintah Desa. Dalam kaitan ini juga,
Pemerintah Pusat berwenang membina dan berkewajiban mendukung pelaksanaan
urusan pemerintahan yang didesentralisasikan ke Pemerintah Daerah; dan bila
setelah dibina ternyata Pemerintah Daerah dipandang masih belum mampu, maka
untuk sementara penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut dilaksanakan oleh
Pemerintah Pusat. Untuk itu, Pemerintah Pusat berkewajiban merumuskan norma,
prosedur, standar dan kriteria untuk pelaksanaan urusan kehutanan yang menjadi
wewenang pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Untuk sub urusan
perencanaan hutan, Pemerintah berwenang melakukan kegiatan-kegiatan yang
bersifat makro nasional, sedangkan Pemerintah Daerah berwenang untuk melakukan
kegiatan-kegiatan yang bersifat lokal dengan mengacu pada acuan nasional.
Dengan memperhatikan pengalaman masa lalu yang terkait dengan kemampuan teknis
Pemerintah Daerah dan anggaran yang ada, maka Pengukuhan hutan dan pembentukan
wilayah pengelolaan sepenuhnya menjadi wewenang dan dilaksanakan oleh
Pemerintah Pusat; Pemerintah Daerah hanya mempunyai kewenangan untuk
mengusulkan dan memberi pertimbangan serta rekomendasi berdasarkan kondisi
wilayahnya.
Demikian pula dengan kewenangan penyusunan rencana
pengelolaan jangka panjang dan menengah kewenangannya berada pada Pemerintah
Pusat, sedangkan Pemerintah Daerah hanya berwenang memberikan usulan, pertimbangan,
dan rekomendasi. Khusus untuk penyusunan rencana pengelolaan jangka pendek atau
tahunan kewenangan penetapan atas rencana ini berada di Pemerintah Provinsi,
sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota hanya berwenang untuk memberikan usulan,
pertimbangan, dan rekomendasi. Dalam hal pemberian ijin pemanfaatan hasil hutan
dan pemanfaatan kawasan hutan, Pemerintah Daerah hanya berwenang memberikan
pertimbangan teknis dan rekomendasi kepada Pemerintah Pusat yang selanjutnya
akan mempertimbangkan untuk memberi atau menolak usulan ijin tersebut.
Pengaturan pemberian ijin ini oleh banyak pihak dianggap sebagai gejala
resentralisasi urusan kehutanan, namun Ekawati dan Santoso (2008) menyatakan
bahwa aturan ini merupakan pembagian wewenang yang lebih proposional.
Dalam hal ini meskipun semua perijinan menjadi wewenang
Pemerintah Pusat, namun tidak akan secara serta merta dapat terjadi bila tidak
ada pertimbangan dan rekomendasi Pemerintah Daerah. Yang tidak kalah menarik,
dan perlu mendapat perhatian dari Peraturan Pemerintah ini adalah dengan adanya
wewenang baru bagi Pemerintah Kabupaten/kota untuk melakukan penelitian dan
pengembangan kehutanan, sementara Pemerintah Provinsi tidak mempunyai
kewenangan yang sama. Hal ini tentunya memerlukan kebijakan pelaksanaan yang
mengatur mengenai tingkatan dan jenis penelitian di antara Pemerintah.
Pusat
dan Pemerintah Kabupaten, serta memberikan peran yang tepat bagi Pemerintah
Provinsi yang selama ini beberapa di antaranya sudah mempunyai lembaga
penelitian, guna mendapatkan efisiensi urusan penelitian dan mencapai
efektivitas yang dikehendaki.
Bagaimana ke depan ?
Desentralisasi urusan kehutanan ke Pemerintah Daerah
akan berjalan dengan baik dan memenuhi harapan yang diinginkan bila ada
semangat seluruh pihak untuk memperbarui
tata kelola hutan yang ada menjadi lebih efektif (good forest governance).
Dalam kaitan itu perlu diterapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dengan
memperbaiki sikap seluruh pihak baik pemerintah pusat dan daerah, kalangan
pengusaha, maupun masyarakat, dalam:
ü Mentaati norma dan peraturan yang telah disepakati
ü Mengutamakan partisipasi dan transparansi
ü Meningkatkan pertanggungan jawab
ü Meningkatkan efisiensi dan efektifitas
ü Konsisten dengan rencana strategis yang telah disepakati
CATATAN
¯ Tulisan ini dipersiapkan untuk International Seminar on “Ten
Years Along: Decentralisation, land and NaturalResources in Indonesia, Atma
Jaya University, Huma, Leiden University, and Radboud University. Jakarta 15-16
July 2008.
¯ Koordinator Dewan Pengurus Working Group on Forest Land Tenure
¯ Djajapertjunda S (2002) merinci perkembangan peraturan kehutanan
dalam era kolonialisasi Belanda mulai dari terbitnya maklumat-maklumat yang
mengatur tebangan, higga ke terbitnya peraturan yang lebih berbobot logika dan
keilmuan pada jaman pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, yang tercantum
pada Bosreglement 1865 hingga peraturan setara undang-undang pada Bosordonantie
1927.
¯ Pemerintah Provinsi dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah Swatantra
Tingkat I (dulu sering disingkat menjadi DASWATI I) sebagaimana disebut pada
Peraturan Pemerintah No. 64/1957 menyebutkan
¯ Pada masa itu urusan kehutanan ada pada Direktorat Jenderal
Kehutanan, yang berada di bawah Departemen Pertanian
¯ Secara teknis pada saat itu instansi daerah kurang menguasasi data
bio-fisik wilayah, sehingga instansi Direktorat Jenderal Kehutanan di daerah
yaitu Balai Planologi Kehutanan merupakan motor dalam penyusunan konsep TGHK
¯ Masyarakat adat dalam pengertian ini adalah masyarakat yang
anggotanya masih berada di tanah yang mereka tempati (di dalam hutan) sejak
nenek moyangnya, dan mereka masih mentaati hukum adat yang berlaku di
komunitasnya. Masyarkat setempat adalah masyarakat yang sudah tidak terikat
dengan hokum adat, tapi masih menempati tanah (hutan) yang mereka warisi dari
nenek moyangnya.
¯ Di antaranya dilaporkan oleh Barr dkk (2006) dalam Decentralization
of Forest Administration in Indonesia: Implications for Forest
Sustainability, Economic Development, and Community Libelihood, yang merangkum
seluruh hasil penelitian CIFOR sejak akhir tahun 1990an, mencakup uraian
mengenai pengurusan hutan sebelum era desentralisasi 1998, serta latar belakang
terbitnya Paket Undang-Undang Desentralisasi (UU No. 22/199 dan 25/1999), serta
implikasinya terhadap konsesi pengusahaan hutan, produksi kayu, hak-hak
masyarakat (tenure) dan kesejahteraan mereka.
¯ Gregersen dkk (dalam Colfer,C.J.P., dkk., 2005) menyatakan bahwa di
suatu negara federasi, negara–negara bagian atau provinsi tidak menerima
pelimpahan wewenang urusan pemerintahan dari Pemeritah Federal; mereka secara
historis merupakan negara-negara mandiri yang mengurus rumah tangganya sendiri,
namun, kemudian bersepakat untuk berbagi beberapa wewenang ke Pemerintah
Federal melalui konstitusi. Selanjutnya, dengan menyitir pendapat Oluwu (2001),
Gregersen dkk menyatakan bahwa di negara federasi tidak dilakuka desentralisasi,
namun digunakan prinsip constitutional non-centralization. Sebaliknya,
pada suatu negara kesatuan, seperti Indonesia, pemerintah pusat mempunyai sub-sub
pemerintahan (provinsi, dan kabupaten/kota) yang berada di level bawah sebagai
sub-ordinasi, yang tidak mempunyai kewenangan mengambil keputusan untuk
beberapa fungsi dan urusan pemerintahan utama.\
¯ Berdasarkan Undang-Undang No.22/1999, keempat urusan pemerintahan
ini beserta urusan yang terkait dengan: i) perencanaan dan pengendalian
pembangunan nasional secara makro, ii) sistem admnistrasi negara dan lembaga
keuangan negara, iii) pemberdayaan sumberdaya manusia, iv) pendayagunaan
sumberdaya alam serta teknologi tinggi strategis, v) konservasi, dan vi)
standarisasi nasional, merupakan kewenangan Pemerintah Pusat yang tidak
diesentralisasikan ke provinsi dan kabupaten/kota.
¯ Lihat: Sumardjani, L. (2007). Konflik Sosial Kehutanan: Mencari
Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik. Working Group on Forest Land Tenure.
Bogor.
¯ McCarthy dkk., (Barr, 2006) juga mengamati hal serupa, di mana
beberapa aktor yang berada di pemerintahan, organisasi masyarakat madani, dan
kalangan swasta mengeluhkan berbagai excesses desentralisasi, terutama di
kabupaten, di mana pemerintah setempat mengeluarkan banyak peraturan dan kebijakan
yang melebihi wewenangnya.
Peraturan Pemerintah No.25/2000 mengenai Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi
1.
Sebagian besar wilayah
Indonesia dialokasikan Pemerintah sebagai kawasan Hutan, yang terdiri atas beberapa
kawasan dengan fungsi-fungsi khusus, yaitu sebagai Hutan Lindung untuk
perlindungan sistem tanah dan air, Hutan Suaka Alam untuk melindungi dan
melestarikan keunikan fenomea alam alsi dan jenis-jenis flora dan fauna khas,
serta Hutan Produksi untuk produksi hasil hutan .
2.
Pengukuhan kawasan hutan
melalui penataan batas kawasan-kawasan yang telah dialokasikan dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah, dan kemudian di Penunjukan Kawasan oleh Menteri Kehutanan.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk
mendapatkan kepastian hukum, guna menghindari tumpang tindih pemanfaatan
kawasan hutan.
3.
Undang-Undang No. 25/1999;
lebih detail menegenai pelaksanaan Undang-undang ini di bidang kehutanan bisa
dilihat dari makalah Resosudarmo, I.A.P., dkk., Fiscal Balancing and the
Redistribution of Forest Revenues, dalam Barr, C., (2006) yang antara lain
merinci hal-hal yang terkait dengan: i) Dana Perimbangan dalam bentuk Dana
Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil dari
Sumberdaya Alam, ii) Pendapatan Asli Daerah (PAD), iii) Pinjaman Daerah, dan
iv) Sumber-sumber Penerimaan Sah Lainnya.
4.
Undang-Undang No. 22/1999 tidak
menyatakan hubungan apa saja yang ada diantara
Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Selain itu pada Undang-Undang ini
dijelaskan bahwa antara Pemerintah Kabupaten tidak mempunyai hubungan hirarki
dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya.
5.
Eka dan Santoso (2008)
menyatakan bahwa adanya rincian pembagian wewenang akan mempertegas wewenang
Pemerintah Kabupaten, yang selama ini kurang dinyatakan secara jelas;
sebelumnya, Peraturan Pemerintah No.25/2000 hanya merinci pembagian wewenang
urusan pemerintah antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi, sedangkan
urusan lainnya( urusan sisa) menjadi wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota, dan
ini sering menjadikan Pemerintah Kabupaten menjalankan berbagai macam urusan
(berlebihan).
6.
Meski demikian, Bupati dan Wali
Kota mempunyai peran yang sangat penting dalam penataan batas kawasan hutan,
karena mereka menjadi Ketua Panitia Penataan Batas Kawasan Hutan, yang memimpin
negosiasi seluruh pihak dalam menentukan batas kawasan hutan di lapangan. Tanpa
adanya kesepakatan atas rencana batas kawasan, maka tidak akan terjadi penataan
batas di lapangan; demikian pula bila Panitia yang dipimpin mereka tidak
menyepakati hasil penataan batas, maka pengukuhan kawasan tersebut tidak dapat
ditetapkan oleh Menteri Kehutanan.
RECORVERY PERIODE SUMBERDAYA HUTAN MASIH PANJANG
RECORVERY PERIODE SUMBERDAYA HUTAN MASIH PANJANG
Sampai saat ini harapan dapat terwujudnya bentuk
pengolahan hutan yang tepat dan stabil belum dapat diperoleh. Siapa pun Menteri
Kehutanan yang menjabat apalagi setelah era reformasi 1998 ternyata tidak mampu
memperbaiki kerusakan sumberdaya hutan dengan berbagai program kebijakan
prioritasnya. Kecuali hutan Jawa yang dikelola oleh Perum Perhutani, sumberdaya
hutan nasional tidak kunjung membaik. Deforestasi seluas 1,6 juta hektar per
tahun (1985-1997) meningkat tajam di era reformasi menjadi 2,83 juta hektar
pertahun (1998-2000), entah angkanya saat ini, yang diwaranai pula dengan asap
dan kebakaran lahan dan hutan, antara lain seluas sekitar 9 juta hektar tahun
1997/1998. Lahan kosong di kawasan hutan hutan mencapai 31,952 juta hektar
(24%) masih ditambah sekitar 17,283 juta hektar belum terdeteksi perlu
direhabilitasi telah mencapai 59,2 juta hektar.
Seiring dengan memburuknya kondisi kawasan hutan
tersebut, produksi kayu alam HPH semakin menipis pada titik rendah sekitar 5-6
juta meter kubik per tahun. Sedang keberhasilan hutan tanaman dari HPHTI masih
sangat rendah baik laju perluasan tanaman maupun produksi kayunya. Sebaliknya
praktek illegal logging yang meskipun terus diberantas melalui operasi
represif tidak kenal menurun. Penyelundupan kayu ke luar negeri juga cenderung
meningkat dengan trend yang tidak pernah mampu dikenali secara tepat.
Namun ada yang menggembirakan, devisa produk-produk
kehutanan justru meningkat. Tercatat angka devisa sebesar US$ 4,873 milyar
(2001), berturut-turut meningkat menjadi US $ 5,819 milyar (2002), US $ 6,318
milyar (2003), dan tahun 2004 sebesar US $ 7,726 milyar. Produk pulpa &
kertas merupakan penopang laju peningkatan devisa tersebut. Devisa dari ekspor
satwa dan hasil hutan non kayu tercatat meningkat dari tahun ke tahun bernilai
puluhan juta dolar AS. Hanya, naiknya devisa khususnya dari produksi pulpa
malahan di curigai sebagai bentuk ekploitasi hutan alam ilegal.
Pemerintah SBY-JK yang tersisa 2(dua) tahunan tidak
dapat melakukan pembenahan pengelolaan sumberdaya hutan dan kehutanan tanpa
melakukan perombakan besar menyangkut sistem politik penyelenggaraan
pengelolaan hutan, institusi dan sumberdaya manusianya. Pengelolaan hutan dan
kehutanan yang sarat dengan kompleksitas problem sosial, ekonomi, lingkungan
dan kriminal juga memerlukan produk legal yang ditaati dan ditegakan dengan
berani. Sedangkan penyelenggaraan politik kenegaraan era otonomi daerah
tetap dianggap menambah peningkatan kerusakan hutan yang tidak terkendali itu.
Pengelolaan hutan dan kehutanan yang sangat penting bagi
kelestarian ekosistem, penyejahteraan sosial dan perolehan dana pembangunan di
yakini memerlukan masa benah (recorvery period) yang masih
panjang, siapun menteri ataupun upaya program kehutanan yang dilakukan.
Panjangnya masa transisi perbaikan pengelolaan hutan antara lain diindikasikan
oleh:
(i).
Masih tetap lebarnya gap dan
pertentangan kebijakan kehutanan Pusat dan Daerah dalam praktek pengelolaan
hutan, termasuk dalam menyikapi adanya PP ataupun Peraturan Menteri Kehutanan yang
masih seringkali diperdebatkan oleh daerah.\
(ii).
Hasil hutan kayu tetap
merupakan andalan pendapatan bagi daerah-daerah yang memiliki sumberdaya hutan,
dan terus diekspolitasi baik secara legal maupun secara illegal;
(iii).
lebarnya rentang koordinasi
pusat-daerah yang tidak dilandasi rantai kewenangan hirarki;
(iv).
belum terfokusnya program
kehutanan jangka panjang baik ditingkat pusat maupun daerah yang mengakar;
(v).
belum mantapnya organisasi dan
personil kehutanan di puast dan didaerah dalam mencapai tujuan pengelolaan
hutan yang baik;
(vi).
“ancaman” proses politik hasil Pemilu ataupun
Pilkada yang tetap berpotensi akan merubah arah kebijakan pengelolaan kehutanan
dan keselamatan sumberdata hutan;
(vii).
pengelolaan dan pembinaan
sumberdaya manusia yang hanya dibatasi oleh lingkup kedaraerahan juga
menyumbang semakin tidak terkendalinya pengelolaan kehutanan yang baik;
(viii). hutan juga semakin terancam rusak karena lemahnya penegakan hukum,
termasuk anarkisme sosial yang masih sulit dikendalikan dilapangan; dan
(ix).
yang paling utama menyebabkan
masih terbengkalainya pengurusan hutan adalah sistem penyelenggaraan kehutanan
di daerah yang prakteknya hanya bersifat pengurusan, bukan dilakukan dengan
sistem pemangkuan seperti layaknya yang harus dilakukan.
Sangat disayangkan, bahwa reformasi dan dipaksakanya
praktek otonomi daerah di bidang pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan
dengan terburu-buru ternyata memiliki peran besar terhadap merosotnya kualitas
dan kuantitas sumberdaya hutan dan lingkungan. Pemberian desentralisasi
kewenangan dan otonomi yang besar tanpa rambu-rambu yang dipatuhi telah
menyebabkan dirusaknya sumberdaya hutan secara sadar, menggunakan payung legal,
massal dan serentak dalam waktu yang sangat pendek.
Pemerintah daerah
sempat berlomba menerbitkan berbagai Perda dibidang Kehutanan, di saat
pemerintah pusat kedodoran menyusun aturan-aturan untuk dipedomani di daerah.
Keputusan Menteripun tidak mudah dilaksanakan oleh pemerintah daerah meski
diantaranya juga memiliki rimbawan praktek yang selayaknya juga memahami masalah
pelestarian hutan. Karenanya, masa benah pengelolaan hutan dan kehutanan
Indonesia memerlukan keberanian untuk merombak sistem penyelenggaraan yang
telah ada.
Lembaga legislatif dan pemerintah harus secepatnya
menyusun ulang atau menyempurnakan aturan UU maupun PP dan Perda bagi
pemberdayaan masing-masing jenjang institusi pemerintahan pusat-daerah yang
saling megikat dan terikat dalam upaya pelestarian sumberdaya hutan dan
lingkungan. Pengalaman terbitnya PP Nomor 34/2002 yang mengatur penataan pengelolaan
hutan yang diharapkan menjadi payung yang efektif menjembatani UU Nomor
22/99 dan PP Nomor 25/2000 dengan UU Kehutanan Nomor 41/99 ternyata menimbulkan
kontroversi karena berbedanya penafsiran (Kompas, 20/11/2002) agar tidak
terulangi.
Daerah Kabupaten/Kota keluarnya PP34/2002 dimaksudkan
untuk re-sentralisasi pengelolaan hutan, tanpa menyadari makna bahwa sebenarnya
memang diperlukan suatu pengendalian sentralistik terhadap pengelolaan
sumberdaya alam. Termasuk khususnya pendayagunaan sumberdaya hutan dan
ekosistem lingkungan, bahkan pola pembinaan SDM Kehutanan, yang dilupakan oleh
para penggagas percepatan otonomi daerah akibat tidak memahami esensi kesatuan
suatu pengelolaan lingkungan.
Semangat pemerintah di era otonomi daerah yang cenderung
primordial dan parsial khususnya menyangkut pengelolaan sumberdaya hutan dan
lingkungan harus dibuang jauh-jauh apabila menghendaki hutan akan diperbaiki.
Sistem pemangkuan hutan yang harus diterapkan di masing-masing kabupaten
selayaknya dilakukan oleh masing-masing daerah meskipun bertahap. Dengan sistem
pemangkuan kawasan hutan tersebut tidak akan ada lagi satu jenis pekerjaan
kehutanan yang tidak tertangani. Tanggungjawab terhadap kawasan menjadi mutlak,
dan tidak boleh lagi ada istilah “tanah tak bertuan” pada loaksi-lokasi yang
ditinggalkan HPH/HPHTI. Masyarakat merupakan faktor kunci yang diyakini
berperan besar dalam keberhasilan pengelolaan hutan. Lebih dari itu, perlu
direnungkan kembali perlunya “re-sentralisasi” pengelolaan sumberdaya alam dan
hutan dengan pengaturan tanggung jawab pusat-daerah yang adil namun tidak
terpotong-potong secara parsial, serta institusi perencanaan terpadu
berdasarkan pembagian wilayah daerah aliran sungai (DAS). Sekali lagi
pengalaman Perum Perhutani mengelola hutan Jawa dengan pola Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat (PHBM) yang berjalan baik kiranya tidak berlebihan untuk
disimak dan dicontoh sesuai kondisi faktual nasional dan masing-masing daerah.
BAB V
SUMBER
DAYA ALAM
A.
Pengertian Sumber Daya
Alam
Sumber daya alam adalah sesuatu yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia agar hidup
lebih sejahtera yang ada di sekitar alam lingkungan hidup kita. Sumber daya
alam bisa terdapat di mana saja seperti di dalam tanah, air, permukaan tanah,
udara, dan lain sebagainya. Contoh dasar sumber daya alam seperti barang
tambang, sinar matahari, tumbuhan, hewan dan banyak lagi lainnya. Sumber
Daya Alam (biasa disingkat SDA) adalah segala sesuatu yang berasal
dari alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Masa benah pengelolaan sumberdaya
hutan dan kehutanan Indonesia meskipun diyakini memerlukan waktu panjang, tetap
harus dilakukan mulai sekarang. Masalah pokok menyangkut sistem penyelenggaraan
pengelolaan kehutanan yang bertumpu pada sistem pemangkuan kawasan hutan, serta
dukungan perbaikan institusi, fotosintesis Mencegah terjadinya erosi, tanah
longsor dan banjir Bahan industri, misalnya Jenis yaitu:
SDA dibagi menjadi dua, yaitu,SDA
yang dapat diperbaharui dan SDA yang tidak dapat diperbaharui. SDA yang dapat
diperbaharui meliputi air, tanah,
tumbuhan dan hewan.
SDA ini harus kita jaga kelestariannya agar tidak merusak keseimbangan ekosistem. SDA yang tidak dapat
diperbaharui itu contohnya barang
tambang yang ada di dalam perut bumi seperti minyak bumi, batu bara, timah
dan nikel. Kita harus menggunakan SDA ini
seefisien mungkin. Sebab, seperti batu bara, baru akan terbentuk kembali
setelah jutaan tahun kemudian.SDA juga dapat dibagi
menjadi dua yaitu SDA hayati'
dan SDA non-hayati.
a.
SDA hayati adalah SDA yang
berasal dari makhluk hidup.
Seperti: hasil pertanian, perkebunan, pertambakan dan perikanan.
b.
SDA non-hayati adalah SDA yang
berasal dari makhluk tak hidup (abiotik). Seperti: air,
tanah, barang-barang tambang.
Pemanfaatan SDA: Tumbuhan Manfaat
tumbuhan antara lain: Menghasilkan oksigen bagi manusia dan hewan Mengurangi
polusi karena dapat menyerap karbondioksida yang dipakai tumbuhan untuk proses
kelapa sawit bahan industri minyak goreng Bahan makanan, misalnya padi menjadi
beras Bahan minuman, misalnya teh dan jahe
Persebaran sumber daya alam tidak
selamanya melimpah. ada beberapa sumber daya alam yang terbatas jumlahnya.
terkadang dalam proses pembentukannya membutuhkan jangka waktu yang relatif
lama dan tidak dapat di tunggu oleh tiga atau empat generasi keturunan manusia.
Sumber daya alam adalah segala
sesuatu yang tersedia di alam dan dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Sumber
daya alam dibagi menjadi dua, yaitu: sumber daya alam yang dapat diperbarui dan
sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui.
- Sumber daya alam yang dapat diperbarui
Ialah sumber daya alam yang dapat
diusahakan kembali keberadaannya dan dapat dimanfaatkan secara terus-menerus,
contohnya: air, udara, tanah, hutan, hewan dan tumbuhan.
a.
Air
Air merupakan kebutuhan utama seluruh makhluk hidup. Bagi
manusia selain untuk minum, mandi dan mencuci, air bermanfaat juga:
1.
sebagai sarana transportasi
2.
sebagai sarana wisata/rekreasi
3.
sebagai sarana
irigasi/pengairan
4.
sebagai PLTA (Pembangkit Listrik
Tenaga Air)
Cekungan di daratan yang
digenangi air terjadi secara alami disebut danau, misalnya Danau Toba di
Sumatera Utara. Sedangkan cekungan di daratan yang digenangi air terjadi karena
buatan manusia disebut waduk, misalnya waduk Sermo di Kulon Progo dan Waduk
Gajah Mungkur di Wonogiri (Jateng).
b.
Udara
Udara yang bergerak dan
berpindah tempat disebut angin. Lapisan udara yang menyelimuti bumi disebut
atmosfer. Lapisan Ozon berfungsi untuk melindungi bumi dari sinar ultraviolet
yang dipancarkan oleh matahari.
c.
Tanah
Tanah adalah lapisan
kulit bumi bagian atas yang terbentuk dari pelapukan batuan dan bahan organik
yang hancur oleh proses alamiah. Tanah banyak dimanfaatkan untuk menanam sumber
daya alam pertanian. Pertanian meliputi tanaman untuk makanan pokok, seperti
padi, jagung dan sagu. Palawija terdiri dari ubi-ubian dan kacang-kacangan; dan
holtikultura yang meliputi berbagai jenis sayuran dan buah-buahan.
d.
Hewan
Hewan di Indonesia
dapat digolongkan menjadi dua, yaitu hewan liar dan hewan piaraan. Hewan liar
ialah hewan yang hidup di alam bebas dan dapat mencari makan sendiri, misalnya
dari jenis burung, ikan dan serangga. Hewan piaraan ialah hewan yang dipelihara
untuk sekadar hobi atau kesenangan semata, misalnya burung perkutut, marmut,
kucing dan kakaktua. Hewan ternak ialah hewan yang dikembangbiakkan untuk
kemudian dimanfaatkan atau diperjualbelikan.
e.
Tumbuhan
·
Hutan
Hutan merupakan sebuah areal luas yang ditumbuhi
beraneka ragam pepohonan. Dilihat dari jenis pohonnya, hutan dapat dibagi menjadi
dua, yaitu:
i.
Hutan Homogen Ialah hutan yang
ditumbuhi oleh satu jenisØyaitu: pohon/tanaman,
misal: hutan jati, hutan pinus, hutan cemara dll.
ii.
Hutan Heterogen Ialah hutan
yang ditumbuhi oleh berbagai jenis pohon/tanaman.
Dilihat dari arealnya, hutan dapat
dibagi menjadi:
a.
Hutan lindung ialah hutan yang
berfungsi yaitu sebagai berikut:
i.
Hutan produksi melindungi tanah
dari erosi, banjir dan tanah longsor.
ialah hutan yang berfungsi untuk menghasilkan berbagai produk industri
dan bahan perlengkapan masyarakat, seperti kayu lapis, mebel.
ii.
Hutan wisata ialah hutan yang bangunan
dan kerajinan tangan. ditujukan khusus
untuk menarik para wisatawan domestik (dalam negeri) Hutan suaka alam ialah hutan yang maupun
wisatawan mancanegara. berfungsi
memelihara dan melindungi flora (tumbuhan) dan fauna (hewan).
b.
Hutan Mangrove ialah hutan
bakau di tepi pantai yang berfungsi untuk menghindari daratan dari abrasi.
Hasil hutan yang dapat dimanfaatkan oleh kita yaitu:
kayu (jati, pinus, cemara, cendana), damar, rotan, bambu dll. Erosi ialah
pengkisan tanah yang disebabkan oleh air hujan. Reboisasi ialah
penanaman/penghijauan kembali hutan yang telah gundul. Abrasi ialah penyempitan
daratan akibat pengikisan tanah yang disebabkan oleh air laut. Korasi ialah
pengikisan daratan yang disebabkan oleh angin.
1.
Pertanian
Pertanian di Indonesia menghasilkan berbagai macam
tumbuhan, antara lain padi, jagung, kedelai, sayur-sayuran, cabai, bawang dan
berbagai macam buah-buahan, seperti jeruk, apel, mangga, dan durian. Indonesia
dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduk Indonesia
mempunyai pencaharian di bidang pertanian atau bercocok tanam.
2.
Perkebunan
Jenis tanaman perkebunan yang ada di Indonesia meliputi
karet, cokelat, teh tembakau, kina, kelapa sawit, kapas, cengkih dan tebu.
Berbagai jenis di antara tanaman tersebut merupakan tanaman ekspor (kegiatan
mengirim barang ke luar negeri ) yang menghasilkan devisa (tabungan bagi negara
).
Personil dan
aspek legal harus dibenahi terlebih dahulu. Apabila tidak dilakukan, program
apapun yang di tetapkan hanya membuahkan hasil yang tidak pernah memberikan
makna sesungguhnya. Sumber daya hutan tetap akan meningkat kerusakanya.
- Sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui
Ialah sumber daya alam yang apabila
digunakan secara terus-menerus akan habis. Biasanya sumber daya alam yang tidak
dapat diperbarui berasal dari barang tambang (minyak bumi dan batu bara) dan
bahan galian (emas, perak, timah, besi, nikel dan lain-lain).
- Batu Bara
Batu bara berasal dari tumbuhan purba yang telah mati
berjuta-juta tahun yang lalu. Batu bara banyak digunakan sebagai bahan bakar
untuk keperluan industri dan rumah tangga.
- Minyak Bumi
Minyak bumi berasal dari hewan (plankton) dan
jasad-jasad renik yang telah mati berjuta-juta tahun.
- Emas dan Perak
- Besi dan Timah
Besi berasal dari bahan yang bercampur dengan tanah,
pasir dan sebagainya. Besi merupakan bahan endapan dan logam yang berwarna
putih. Timah berasal dari bijih-bijih timah yang tersimpan di dalam bumi.
Manfaat dan Peta Persebaran Sumber Daya Alam. Jenis Sumber Daya Alam Hasil Manfaat yaitu:
1. Barang Tambang
2. Minyak Bumi
Persebaran sumberdaya alam di
Indonesia yaitu :
1.
Cepu, Blora dan Cilacap di Jawa
Tengah.
2.
Sungai Gerong dan Plaju di
Palembang.
3.
Dumai dan Sungai Pakning (Riau)
4.
Tanjung Pura, Langkat (Sumatera
Utara)
5.
Tarakan, Balikpapan dan Kutai
(Kalimantan Timur)
Fungsi Minyak Bumi:
1.
Avtur untuk bahan bakar pesawat
terbang
2.
Bensin untuk bahan bakar
kendaraan bermotor
3.
Kerosin untuk bahan baku lampu
minyak
4.
Solar untuk bahan bakar
kendaraan diesel
5.
LNG (Liquid Natural Gas) untuk
bahan bakar kompor gas
6.
Oli ialah bahan untuk pelumas
mesin
7.
Vaselin ialah salep untuk bahan
obat
8.
Parafin untuk bahan pembuat
lilin
9.
Aspal untuk bahan pembuat jalan
PEMBANGUNAN
SDM DAN LINGKUNGAN HIDUP
AKIBAT
KONDISI UMUM
Pembangunan sumber
daya alam (SDA) dan lingkungan hidup
(LH) diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan tetap
mempertimbangkan prinsip- prinsip keberlanjutan pembangunan nasional di masa
mendatang. Terciptanya keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian SDA dan
LH merupakanprasyarat penting bag i terlaksananya keberlanjutan pembangunan SDA
dan LH tersebut.
Pemanfaatan SDA yang terkendali dan
pengelolaan LH yang ramah lingkungan akan menjadi salah satu modal dasar yang
sangat penting bagi pembangunan nasional secara keseluruhan. Selain itu,
ketersediaan SDA juga mampu memberikan sumbangan yang cukup berarti
terhadap pembangunan ekonomi. Pada tahun 2001, sumbangan sector sumber daya
alam terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional adalah sekitar 30 persen dengan penyerapan
tenaga kerja sebesar 57 persen dari total penyerapan lapangan kerja nasional.
Namun akibat dari pemanfaatan SDA
dan LH yang bersifat eksploitatif, keseimbangan dan kelestariannya mulai
terganggu. Oleh karena itu, dalam rangka menjaga keseimbangan dan
kelestariannya telah dilakukan berbagai langkah dan tindakan strategis menurut
bidang pembangunan yang tercakup dalam pembangunan
SDA dan LH. Dalam pembangunan kehutanan, pengelolaan hutan untuk pemanfaatan
ekonomi yang berlebihan, walaupun telah dibarengi berbagai upaya rehabilitasi
hutan dan lahan, selama ini telah mengakibatkan laju kerusakan/degradasi hutan
yang sangat luas. Akumulasi degradasi sumberdaya hutan yang terjadi dalam
jangka waktu yang cukup lama telah menimbulkan dampak lingkungan, ekonomi dan
sosial yang secara finansial kerugian yang timbul jauh melebihi manfaat yang
telah diperoleh. Diperkirakan degradasi hutan alam Indonesia mencapai sekitar
1,6 – 2,1 juta ha per tahun selama 10 tahun terakhir. Untuk mengatasi berbagai
permasalahan di atas, telah ditetapkan berbagai kebijakan prioritas pembangunan
kehutanan, yang mencakup:
1.
pemberantasan penebangan liar;
2.
penanggulangan kebakaran
hutan;
3.
restrukturisasi sektor
kehutanan;
4.
rehabilitasi dan
konservasi sumber daya hutan; serta
5.
penguatan
desentralisasi kehutanan.
Kebijakan prioritas tersebut
dimaksudkan untuk mengurangi laju kerusakan sumberdaya
hutan, mempercepat pemulihannya, dan memberikan peran dan tanggung jawab yang
lebih besar kepada masyarakat dan pemerintah daerah. Namun, dalam pelaksanaannya, secara obyektif,
kebijakan tersebut belum mampu memulihkan kondisi sumber
daya hutan yang ada. Perkembangan permintaan pasar yang berdampak pada tidak
sinkronnya kebijakan pengembangan industri pengolahan hasil hutan (sektor hilir) dengan kemampuan
produksi bahan baku berupa kayu bulat (sektor hulu) menyebabkan terjadinya
kesenjangan bahan baku yang diperkirakan mencapai sebesar 26,12 juta m3 per
tahun. Hal ini antara lain yang menyebabkan maraknya penebangan ilegal yang terorganisir
untuk “memenuhi” permintaan industri. Di sisi lain, produk jasa yang dapat
dihasilkan dari ekosistem hutan (seperti air, keanekaragaman hayati,
udara bersih, keindahan alam dan kapasitas asimilasi lingkungan) yang mempunyai
manfaat besar sebagai penyangga kehidupan dan mampu mendukung sektor ekonomi
lainnya belum berkembang seperti yang diharapkan.
Perkembangan di bidang IPTEK sampai
saat ini juga belum sepenuhnya dapat berperan atau dimanfaatkan dalam
pembangunan kehutanan. Selanjutnya,dalam rangka
memberikan perlindungan atas pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan
dan perikanan, telah dilaksanakan berbagai kegiatan meliputi : identifikasi
potensi sumber daya wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, serta
konservasi melalui identifikasi kawasan konservasi laut daerah, pengelolaan dan
rehabilitasi terumbu karang berbasis masyarakat, membudidayakan mangrove
fisheries(silvo-fisheries), dan penataan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil.
Dalam
rangka mengamankan potensi sumber daya laut dan menekan kerugian negara akibat pencurian
ikan dan penangkapan ikan ilegal, telah dilakukan pembenahan sistem perijinan
kapal ikan, khususnya kapal yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Selain itu, telah dikembangkan
pula sistem VMS/MCS (vessel monitoring system/monitoring controlling and
surveillance) untuk memantau kapal ikan yang beroperasi di perairan
Indonesia. Penerapan sistem-sistem tersebut juga telah didukung dengan
pengembangan sarana dan prasarana, serta operasional pengawasan yang berbasis
masyarakat (SISWASMAS). Sementara itu, dalam rangka penyelesaian pengelolaan
batas maritim antar negara, khususnya dengan Timor Leste, telah dilakukan
pembahasan secara intensif dengan para pihak yang berwenang.
Sumber
daya mineral dan pertambangan merupakan salah satu sektor yang memberikan andil yang cukup besar dalam menyumbang
perekonomian nasional.
Kontribusi minyak dan gas bumi
terhadap penerimaan pemerintah pada tahun 2003, termasuk penerimaan pajak migas
mencapai sebesar 22,9% dari total penerimaan.
Sehubungan dengan terus menurunnya
kemampuan produksi minyak mentah, maka dikhawatirkan
sumbangan yang diberikan oleh migas juga mengalami penurunan.
Sementara itu, pembangunan
pertambangan juga memiliki potensi untuk memberikan kontribusi bagi kerusakan lingkungan. Sifat
usaha pertambangan (terutama penambangan terbuka) adalah merubah bentang alam
sehingga akan menyebabkan perubahan ekosistem dan habitat yang ada. Perubahan
ini apabila terjadi dalam skala besar akan menyebabkan gangguan keseimbangan
lingkungan yang berdampak buruk bagi
kehidupan manusia. Persoalan lain dibidang pertambangan adalah kerusakan
lingkungan lokasi tambang karena tidak adanya penanganan terhadap lokasi
tambang yang sudah tidak terpakai.
Selain itu meningkatnya kegiatan pertambangan tanpa ijin.
(PETI) juga memberikan permasalahan
yang cukup rumit pada peningkatan lingkungan maupun pada kelestarian produksi tambang.
Kasus longsornya tambang yang menyebabkan
korban jiwa pada pertambangan emas di beberapa lokasi adalah akibat praktek
pertambangan liar yang masih sulit dikendalikan. Dalam pengelolaan lingkungan
hidup, kondisi pada saat ini menunjukkan terjadi penurunan kualitas dan
daya dukung lingkungan yang signifikan. Kasus pencemaran lingkungan cenderung meningkat. Tingkat
kualitas udara di berbagai kota besar di Indonesia telah menunjukkan tingkat
yang mencemaskan.
Kemajuan transportasi dan industri
yang tidak diiringi dengan penerapan
teknologi bersih memberikan dampak negatif yang besar terutama bagi
lingkungan perkotaan. Tingkat pencemaran
air pada berbagai badan air baik air permukaan maupun air tanah juga menunjukkan tingkat yang
mengkhawatirkan, yang dapat mengancam pemenuhan kebutuhan air bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat. Sungai-sungai di perkotaan semakin
kehilangan fungsi ekologisnya karena tercemar limbah industri dan rumah tangga. Demikian juga dengan
kondisi tanah yang semakin tercemar oleh
bahan kimia yang berasal dari sampah padat dan pupuk kimia. Hilangnya
berbagai spesies kenekaragaman
hayati juga menjadi salah satu cerminan degradasi daya dukung lingkungan.
Penurunan kualitas dan
daya dukung lingkungan juga dipengaruhi oleh kerusakan lingkungan global. Salah satu fenomena
perubahan iklim adalah gejala pemanasan
global (global warming) yang terjadi akibat bertambahnya jumlah gas
buangan di atmosfir yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, industri, dan
transportasi. Pencemaran lintas batas
negara seperti polusi asap akibat kebakaran hutan, pencemaran merkuri dan minyak di laut yang sering terjadi perlu
diperhatikan demi menjaga kualitas lingkungan global. Sementara itu, komitmen
pendanaan global melalui perjanjian internasional, misalnya Kyoto Protocol (pemanasan
global) dan Montreal Protocol (perlindungan ozon), belum dapat dijalankan sepenuhnya
walaupun Indonesia telah meratifikasi Kyoto
Protocol pada bulan Juli 2004. Selain itu, era globalisasi mengakibatkan
semakin ketatnya persaingan produk-produk yang berbasis sumber daya alam.
Persaingan tersebut dipengaruhi beberapa isu utama, antara lain isu kualitas
(ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14000), dan isu property rights. Kondisi sumber
daya alam dan
lingkungan hidup di atas dihadapkan pada berbagai permasalahan. Permasalahan yang dihadapi bidang
SDA berbeda dengan bidang LH, walaupun keduanya saling terkait.
Permasalahan pokok di bidang SDA
adalah pemanfaatan dan pengelolaan, sedangkan di bidang LH adalah perlindungan
dan pelestarian fungsi. Permasalahan yang dihadapi SDA dan LH meliputi aspek pemanfaatan SDA yang eksploitatif, boros dan
tidak adil; aspek pelestarian fungsi LH yang tidak menjamin berfungsinya
lingkungan dan makin menurunnya daya dukung lingkungan; dan aspek pengelolaan SDA dan LH
yang mencakup peraturan, kelembagaan, penegakan hukum, penataan ruang,
teknologi, data dan informasi. Aspek-aspek tersebut mendorong terjadinya
kerusakan SDA dan LH yang semakin serius. Pengelolaan hutan belum berjalan
sebagaimana mestinya akibat kesadaran akan pentingnya prinsip kelestarian yang belum
membudaya, dan orientasi pada keuntungan jangka pendek sehingga telah
menyebabkan timbulnya degradasi sumber daya hutan pada tingkat yang mengkhawatirkan serta
menurunnya kualitas lingkungan. Selain itu, kebakaran hutan merupakan masalah besar yang
secara signifikan mengancam pula kelestarian sumber daya sementara
penanganannya belum berjalan dengan baik. Dalam bidang pembangunan kelautan dan perikanan, masalah-masalah yang
dihadapi antara lain meliputi: masih banyaknya praktek illegal, unregulated,
and unreported fishing sebagai dampak dari law enforcement di laut
yang masih lemah;
Pencemaran dan konflik tata ruang di
wilayah laut dan pesisir; terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut,
seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu
karang, dan padang lamun (seagrass beds) yang merupakan habitat ikan dan
organisme laut lainnya; belum berkembangnya teknologi industri bioteknologi
kelautan; terjadinya praktek penambangan pasir laut yang tidak ramah lingkungan
dan ilegal sehingga mempengaruhi produktivitas nelayan serta merusak ekosistem
pesisir secara keseluruhan. Selanjutnya, dalam pembangunan bidang pertambangan
dan sumber daya mineral, beberapa masalah yang dihadapi antara lain: kurangnya penguasaan
teknologi ramah lingkungan dan sumberdaya manusia di bidang pertambangan yang
memadai; banyaknya tumpang tindih areal pertambangan dengan kawasan lindung;
dan kurang patuhnya para pengelola tambang terbuka dalam kegiatan rehabilitasi
bekas kawasan pertambangan. Sementara itu, inventarisasi potensi dan kondisi
SDA dan kualitas LH yang ada belum berjalan secara optimal dan belum
terkoordinasi dengan baik.
Penerapan tata kelola yang baik (good
governance) melalui pelaksanaan prinsip-prinsip transparansi,
akuntabilitas, dan partisipatif dalam pengelolaan SDA dan LH masih belum
berjalan sebagaimana mestinya. Upaya penegakan hukum untuk melindungi SDA dan
LH masih rendah. Tumpang tindih peraturan yang diakibatkan oleh rendahnya
koordinasi antar sektor yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan kualitas
aparat penegak hukum dalam bidang lingkungan belum
optimal, baik dari segi jumlah maupun kualitas sumber daya manusia. Di samping itu, kondisi SDA dan LH tersebut
juga dipengaruhi oleh pertambahan penduduk yang pesat, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang tinggi dengan penerapan yang tidak ramah
lingkungan, dan kurangnya etika dan perilaku yang berpihak pada kepentingan
pelestarian lingkungan. Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya
pengelolaan lingkungan hidup, dan lemahnya penegakan hukum dibidang lingkungan
hidup memicu kerusakan lingkungan hidup yang makin parah.
SASARAN
Secara umum, sasaran yang ingin
dicapai dalam pembangunan sumber daya alamdan lingkungan hidup adalah:
1.
Terpulihkannya kondisi SDA dan LH yang rusak;
2.
Mencegah terjadinya kerusakan SDA dan LH yang lebih parah,
sehingga laju kerusakan dan pencemaran semakin menurun;
3.
Mempertahankan SDA dan LH yang masih dalam kondisi baik;
4.
Meningkatnya kualitas lingkungan hidup yang ditandai dengan
meningkatnya kualitas udara ambien dan membaiknya kualitas air pada badan-badan
air;
Sasaran tersebut ditempuh melalui
perbaikan dan pengendalian faktor-faktor yang memicu terjadinya kerusakan,
antara lain: peraturan perundangan, kelembagaan, iptek, penegakan hukum, data
dan informasi.
Sementara itu, secara khusus,
sasaran yang ingin dicapai dalam bidang kehutanan adalah:
1. Terselesaikannya
kepastian hukum atas status kawasan hutan;
2. Terwujudnya penegakan hukum dalam
kasus pemberantasan penebangan liar;
3. Terselenggaranya kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan;
4. Terkelolanya kawasan konservasi
secara terpadu;
5. Tersedianya informasi bagi
pemanfaatan hasil hutan non-kayu;
6. Terwujudnya peran serta masyarakat
dan perlindungan hak-hak masyarakat dalampengelolaan
hutan;
7. Terwujudnya
pola-pola kemitraan dalam pengelolaan hutan dan terwujudnya upaya penegakan
hukum sektor kehutanan.
Sasaran yang akan dicapai dalam
perbaikan kondisi sumber daya kelautan dan perikanan meliputi:
1. Menurunnya tingkat pelanggaran
pemanfaatan dan perusakan sumber daya kelautan dan perikanan;
2. Meningkatnya pengelolaan ekosistem
pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil secara terpadu, serta pengelolaan dan
rehabilitasi terumbu karang, mangrove, padang lamun dan biota laut
lainnya;
3. Dihasilkannya jenis teknologi
kelautan dan perikanan yang tepat guna dan ramah lingkungan;
4. Tersedianya data dan informasi
kelautan dan perikanan yang “realible dan up to date”;
5. Terselesaikannya beberapa peraturan
perundangan di bidang kelautan dan perikanan.
Sasaran yang ingin dicapai dalam
pembangunan pertambangan adalah upaya inovatif untuk mengatasi penurunan
produksi, meningkatkan cadangan, serta menjaga kelestarian lingkungan yang
mencakup:
1. Meningkatnya kegiatan eksplorasi
untuk mengetahui cadangan sumber daya mineral, minyak dan gas bumi;
2. Meningkatnya peluang usaha
pertambangan kecil di wilayah terpencil;
3. Meningkatnya diversifikasi produk
pertambangan dengan penerapan good mining practices;
4. Meningkatnya rehabilitasi kawasan
bekas pertambangan terbuka.
Selanjutnya, sasaran lain yang
hendak dicapai dalam pengelolaan SDA dan LH adalah :
1. Meningkatnya kapasitas dan
kelembagaan dalam mengelola SDA dan LH;
2. Meningkatnya penataan dan penegakan
hukum dalam rangka melindungi dan merehabilitasi SDA;
3. Berkembangnya pemberdayaan dan
perluasan partisipasi masyarakat madani dalam pengelolaan SDA dan LH; dan
4.
Terinventarisasi dan terevaluasinya
sumber daya alam
dan lingkungan hidup.
ARAH KEBIJAKAN
Arah kebijakan yang ditempuh dalam
pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah:
1.
Memanfaatkan SDA, termasuk jasa-jasa lingkungannya, secara
efisien dan optimal dalam mendukung perekonomian nasional, dan sekaligus
mendorong perubahan pola produksi dan konsumsi yang mengarah pada penerapan
prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan;
2.
Melindungi fungsi lingkungan hidup agar kualitas dan daya
dukungnya
tetap terjaga, sekaligus menjamin tersedianya ruang yang memadai bagi kehidupan
masyarakat;
3.
Mengembangkan sistem pengelolaan SDA dan LH yang mantap yang
disertai dengan penguatan kelembagaan, pengembangan teknologi yang ramah
lingkungan dan pengembangan instrumen pendukung lainnya dalam pemanfaatan SDA
dan perlindungan lingkungan hidup, yang berdasarkan pada prinsip tata kelola
yang baik, termasuk dalam penegakan hukum, pengakuan hak azasi masyarakat adat
dan lokal, dan perluasan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan;
5. Mengendalikan pencemaran lingkungan
hidup untuk mencegah perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup baik di
darat, perairan air tawar dan laut, maupun udara sehingga masyarakat memperoleh
kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
6. Meningkatkan kualitas dan akses
informasi SDA dan LH dalam mendukung perencanaan pemanfaatan sumber
daya alam dan perlindungan lingkungan hidup;
7. Meningkatkan peran aktif Indonesia
dalam perlindungan lingkungan global.
Secara khusus, arah kebijakan
pembangunan kehutanan ke depan adalah mewujudkan:
1. Pengelolaan sektor kehutanan secara
terpadu;
2. Memelihara potensi kekayaan hutan
yang ada agar tetap dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dengan melakukan
konservasi sumber daya hutan;
3. Penanggulangan kebakaran dan
pemberantasan penebangan liar serta upaya penegakan hukumnya;
4. Mempercepat upaya rehabilitasi kawasan
hutan yang
sudah terdegradasi;
5. Melakukan desentralisasi kewenangan
pengurusan kehutanan sehingga tercapai pengelolaan yang bersifat partisipatif
dan melibatkan seluruh pihak.
Sementara itu, arah kebijakan
pembangunan kelautan dan perikanan pada tahun 2005 mencakup:
1. Memelihara keberlanjutan
sumber daya
kelautan dan perikanan serta ekosistem pesisir, lautan, perairan tawar dan
pulau-pulau kecil;
2. Memperkuat pengawasan dan
pengendalian dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan
Sedangkan arah kebijakan pembangunan
sumber daya
mineral mencakup:
1. Meningkatkan efektifitas pengelolaan
sumber daya mineral serta melakukan konservasi dan rehabilitasi;
2. Mengusahakan pencegahan dan
pengendalian kerusakan lingkungan hidup melalui
penataan kelembagaan, penegakan hukum di bidang sumber daya mineral
PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN
1.
PROGRAM PERLINDUNGAN DAN
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM
Program ini ditujukan untuk melindungi
sumber daya alam dari kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas pengelolaan yang
kurang memperhatikan dampak negatif terhadap potensi sumber daya alam dan
lingkungan hidup, serta menyelenggarakan pengelolaan kawasan konservasi
untuk menjamin keragaman ekosistem, sehingga terjaga fungsinya sebagai
penyangga sistem kehidupan.
Sasaran yang hendak dicapai dalam
program ini adalah terlindunginya kawasan konservasi dan kawasan lindung dari
kerusakan akibat pemanfaatan sumber daya alam
yang tidak terkendali dan eksploitatif.
Kegiatan pokok yang akan
dilaksanakan antara lain meliputi:
1. Pengkajian kembali kebijakan
perlindungan dan konservasi SDA
2. Perlindungan
sumber daya
alam dari kegiatan pemanfaatan yang tidak terkendali dan eksploitatif terutama
kawasan konservasi dan kawasan lain yang rentan terhadap kerusakan;
3. Pengelolaan dan perlindungan
keanekaragaman hayati dari kepunahan, termasuk spesies-spesies pertanian dan
biota-biota laut;
4. Pengembangan sistem
insentif dalam konservasi sumber daya alam;
5. Penyusunan mekanisme pendanaan bagi
kegiatan perlindungan SDA
6. Inventarisasi hak adat dan ulayat
dan pengembangan masyarakat setempat;
7. Peningkatan partisipasi masyarakat
dan pengembangan kerja sama kemitraan dalam perlindungan dan pelestarian alam;
8. Pengembangan ekowisata dan jasa
lingkungan di kawasan-kawasan konservasi darat dan laut;
9. Perlindungan dan pengamanan
hutan;
10. Penanggulangan dan pengendalian kebakaran
hutan;
11. Peningkatan penegakan hukum terpadu
dan percepatan penyelesaian kasus pelanggaran/kejahatan kehutanan;
12. Pemantapan pengelolaan kawasan
konservasi dan hutan lindung;
13. Penguatan sarana dan prasarana
pengelolaan kawasan konservasi;
14. Pembentukan dan peningkatan
kapasitas kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi dan kawasan lindung;
15. Pengembangan kawasan konservasi laut
dan suaka perikanan;
16. Pengembangan budidaya perikanan
berwawasan lingkungan;
17. Penyusunan dan penyempurnaan
peraturan perundangan bidang konservasi sumber daya
alam dan
lingkungan hidup;
18. Evaluasi lingkungan dan kawasan
konservasi alam geologi untuk pelestarian lingkungan hidup;
19. Konservasi geologi dan sumber
daya
mineral;
20. Penanggulangan pangan. konversi
lahan pertanian produktif dalam rangka peningkatan ketahanan
2.
PROGRAM REHABILITASI DAN PEMULIHAN CADANGAN SUMBER DAYA ALAM
Program ini bertujuan untuk
merehabilitasi sumber daya alam yang rusak dan mempercepat pemulihan cadangan
sumber daya alam sehingga selain dapat menjalankan fungsinya sebagai penyangga sistem
kehidupan, juga dapat menjadi potensi bagi pengelolaan yang berkelanjutan untuk
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sasaran yang akan dicapai dalam
program ini adalah terehabilitasinya sumber daya alam yang mengalami kerusakan
akibat pemanfaatan yang tidak terkendali dan eksploitatif, dan terwujudnya
pemulihan kondisi sumber daya hutan, lahan, laut dan pesisir, perairan tawar
serta sumber daya mineral agar berfungsi optimal sebagai fungsi produksi dan
fungsi penyeimbang lingkungan.
Kegiatan pokok yang akan
dilaksanakan antara lain meliputi:
1. Perencanaan dan evaluasi pengelolaan
Daerah Aliran Sungai;
2. Pembinaan dan pengembangan
pembibitan;
3. Reboisasi dan penghijauan;
4. Pembangunan hutan
tanaman
industri (HTI), kawasan konservasi dan lindung;
5. Rehabilitasi ekosistem pesisir dan
laut (mangrove, terumbu karang, dan padang lamun), pengembangan sistem
manajemen pengelolaan pesisir & laut;
6. Rehabilitasi kawasan perairan tawar
seperti waduk, situ, dan danau;
7. Pengkayaan (restocking) sumber
daya
perikanan dan biota air lainnya;
8. Rehabilitasi areal bekas
pertambangan terbuka.
3.
PROGRAM PENGEMBANGAN KAPASITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
Program ini ditujukan untuk
meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui
tata kelola yang baik yang berdasarkan pada prinsip transparansi, partisipasi,
dan akuntabilitas.
Sasaran yang akan dicapai dalam
program ini adalah meningkatnya kapasitas pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup seningga sumber daya alam yang ada dapat dimanfaatkan
secara optimal, adil dan berkelanjutan yang ditopang dengan kualitas lingkungan
hidup yang bersih dan sehat.
Kegiatan pokok yang akan
dilaksanakan antara lain meliputi:
1.
Pengkajian dan analisa instrumen
yang mendukung pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan dan perlindungan
lingkungan hidup, seperti peraturan perundangan dan kebijakan termasuk
penegakan hukumnya;
2.
Pengembangan dan peningkatan kapasitas institusi dan
aparatur penegak hukum dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
3.
Penguatan kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan sumber
daya
alam dan lingkungan hidup, baik di tingkat pusat, daerah maupun masyarakat
lokal dan adat;
4.
Pengembangan peran serta masyarakat (warga madani) dan pola
kemitraan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
5.
Pengembangan tata nilai sosial yang berwawasan lingkungan;
6.
Pengembangan sistem pengendalian dan pengawasan sumber
daya alam (hutan, air,
tanah, pesisir, laut, tambang, dan mineral), termasuk sistem pengawasan oleh
masyarakat;
7.
Pengembangan sistem pendanaan dalam pengelolaan sumber
daya alam
dan lingkungan hidup;
8.
Penetapan standar pelayanan minimal bidang lingkungan;
9.
Penyiapan dan pendirian pusat produksi bersih lingkungan;
10.
Pengembangan dan peningkatan penataan dan penegakan hukum
lingkungan;
11.
Pengembangan pelaksanaan perjanjian internasional yang telah
disepakati.
4. PROGRAM PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP
Program ini ditujukan untuk
meningkatkan kualitas hidup dalam upaya mencegah perusakan dan/atau pencemaran
lingkungan hidup baik di darat, perairan tawar dan laut, maupun udara sehingga
masyarakat memperoleh kualitas lingkungan hidup yang baik.
Sasaran yang hendak dicapai dalam
program ini adalah menurunnya tingkat pencemaran lingkungan dan terciptanya
lingkungan yang bersih dan sehat.
Kegiatan pokok yang akan
dilaksanakan antara lain meliputi:
1. Penyusunan kebijakan dan peraturan
perundang-undangan yang mendukung pengendalian pencemaran;
2. Penetapan indeks dan baku mutu
lingkungan dan baku mutu limbah;
3. Pengembangan teknologi yang berwawasan
lingkungan, termasuk teknologi tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam,
pengelolaan limbah, dan teknologi industri yang ramah lingkungan;
4. Pengintegrasian biaya-biaya
lingkungan ke dalam biaya produksi;
5. Pemantauan yang kontinyu, serta
pengawasan dan evaluasi baku mutu lingkungan;
6. Pengendalian
pencemaran kualitas udara dari sumber bergerak dan sumber tidak bergerak;
7. Pengendalian pencemaran kualitas
air;
8. Inventarisasi dan pengendalian
pencemaran dari bahan-bahan perusak ozon (ozon depleting substances);
9. Perumusan kebijakan untuk
mengadaptasi perubahan iklim;
10. Inventarisasi dan persiapan kegiatan
melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism);
11. Pengendalian
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dari sumber-sumber industri dan rumah sakit;
12. Pengendalian pencemaran industri,
pertambangan dan pertanian melalui berbagai mekanisme insentif dan disintesif
kepada para pelaku;
13. Pengembangan sistem penilaian
kinerja lingkungan industri;
14. Penanganan sampah perkotaan dengan
konsep 3R (reduce, reuse dan recycle);
15. Peningkatan penyuluhan dan
interpretasi lingkungan kepada masyarakat menuju budaya produksi dan konsumsi
yang berkelanjutan.
16. Peningkatan kinerja AMDAL
5. PENINGKATAN
KUALITAS DAN AKSES INFORMASI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
Program ini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas dan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam rangka
mendukung pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan fungsi lingkungan
hidup.
Sasaran yang ingin dicapai dalam
program ini adalah tersedianya data dan informasi sumber daya alam dan
lingkungan hidup yang lengkap, akurat, dan mudah diakses oleh semua pemangku
kepentingan dan masyarakat luas.
Kegiatan pokok yang akan
dilaksanakan antara lain meliputi:
1.
Penyusunan data dasar sumber
daya alam baik data potensi maupun data daya dukung kawasan ekosistem, termasuk
pulau-pulau kecil;
2. Penyusunan statistik bidang
lingkungan hidup baik di tingkat nasional maupun daerah;
3. Pengembangan sistem jaringan
laboratorium nasional bidang lingkungan;
4. Pengembangan sistem deteksi dini
terhadap kemungkinan bencana lingkungan;
5. Pengembangan sistem inventarisasi
dan informasi SDA dan LH;
6. Inventarisasi
dan pemantauan kualitas udara perkotaan dan sumber-sumber air;
7. Inventarisasi
sumber daya mineral melalui penyelidikan geologi, survei eksplorasi, dan kegiatan
pemetaan;
8. Pengembangan valuasi
sumber daya alam (hutan, air, pesisir, dan mineral);
9. Penyusunan dan penerapan Produk
Domestik Bruto (PDB) hijau;
10. Penyusunan Neraca
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup yang antara lain mencakup neraca sumber
daya hutan, mineral, dan energi;
11. Pendataan dan penyelesaian
batas kawasan sumber daya alam, termasuk kawasan hutan dan kawasan perbatasan
dengan negara lain;
12. Penyusunan indikator keberhasilan
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
13.
Peningkatan akses informasi
kepada masyarakat.
Flora & Fauna Identitas
Indonesia
Indonesia merupakan negara
yang memiliki sumberdaya alam hayati yang tinggi dan tersebar di seluruh
pelosok tanah air. Kekayaan sumberdaya alam hayati menjadi tumpuan baru bagi
pembangunan nasional selain penggunaan sumberdaya alam takterbarukan seperti
minyak bumi dan gas alam.
Kemajuan pembangunan nasional terus berlanjut menuju era
industrialisasi, sementara itu pemantauan mutu lingkungan memerlukan perhatian
khusus sebagai dampak dari sisi lain pembangunan nasional, meskipun Indonesia
telah menganut azas pemanfaatan secara lestari namun kerusakan lingkungan
akibat pembangunan tidak dapat dihindarkan.
Upaya pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam hayati tidak
dapat terlepas dari UUD 1945, khususnya Pasal 33 Ayat (3) yang berbunyi "Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat". Pengertian dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak berarti pemanfaatannya
dilakukan dengan semena-mena namun juga harus memperhatikan aspek-aspek
keserasian, keselarasan, keseimbangan, keadilan yang merata dan berkelanjutan,
baik bagi generasi masa kini maupun yang akan datang.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk tetap
menjaga keutuhan dan keberlanjutan dari sumberdaya alam hayati yang dapat
terperbarukan sebagai tumpuan pembangunan saat ini, sehingga daya dukung
lingkungan tetap seimbang. Ditetapkannya Undang-undang No.4 Tahun 1982 mengenai
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undangundang
No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam. Hayati dan
Ekosistemnya serta Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Keanekaragam Hayati), mencerminkan
bahwa Pemerintah tidak mengabaikan keberadaan lingkungan yang tetap utuh dan
seimbang sehingga tidak mengkhawatirkan bagi generasi penerusnya.
Sumberdaya alam
hayati yang meliputi keanekaragaman flora dan fauna mempunyai fungsi dan
manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup yang kehadirannya tidak dapat
diganti. Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan memiliki kedudukan
serta berperan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumberdaya
alam hayati flora dan fauna menjadi kewajiban mutlak bagi setiap generasi.
Upaya-upaya konservasi tidak akan mendapatkan hasil seperti yang diharapkan
tanpa dukungan dan peran serta aktif dari segenap lapisan masyarakat. Oleh
karena itu salah satu upaya yang dianggap strategis dan efektif oleh Pemerintah
adalah dengan menetapkan berbagai macam kekayaan sumberdaya alam hayati
tersebut ke dalam bentuk Identitas Flora dan Fauna Daerah. Penetapan Identitas
Flora dan Fauna Daerah merupakan upaya nyata yang dilakukan sebagai tindak
lanjut dari Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga
Nasional. Dengan ditetapkannya Flora dan Fauna Identitas Daerah Tingkat I
ini dapat dilanjutkan pula dengan pemilihan Flora dan Fauna di Tingkat II,
Kecamatan dan Desa. Diharapkan dengan demikian akan dapat mendorong upaya-upaya
perlindungan, pengawetan, serta pemanfaatan secara berkelanjutan sumberdaya
alam hayati flora dan fauna baik oleh aparat Pemerintah di Daerah maupun
masyarakat secara keseluruhan sampai dengan ke Tingkat II bahkan Kecamatan dan
Pedesaan
SUMBER
DAYA ALAM INDONESIA
Sumber daya
alam di Indonesia adalah segala potensi alam yang dapat dikembangkan untuk
proses produksi. Sumber daya alam ialah semua kekayaan alam baik berupa benda
mati maupun benda hidup yang berada di bumi dan dapat dimanfaatkan untukmemenuhi
kebutuhan manusia.
Proses terbentuknya
sumber daya alam di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :
Pemanfaatan
Sumber Daya Alam
Sumber daya alam merupakan salah satu modal
dasar pembangunan. Sebagai modal dasar, sumber daya alam harus dimanfaatkan
sepenuh-penuhnya tetapi dengan cara yang tidak merusak. Oleh karena itu,
cara-cara yang dipergunakan harus dipilih yang dapat memelihara dan
mengembangkan agar modal dasar tersebut makin besar manfaatnya untuk
pembangunan dimasa datang. Persebaran Sumber Daya Alam Hayati teridiri dari
sumber daya alam hewani dan nabati yang tersebar didarat dan laut selain
hutan yang luas, Indonesia memiliki perkebunan dan pertanian tersebar hampir
di seluruh Indonesia.
Jumlah dan kualitas sumber daya alam sangat
banyak dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia selain itu kualitasnya
pun sangat bagus sehingga dapat diekspor di berbagai negara sehingga dapat
memenuhi devisa negara.
Jenis
sumber daya alam yang diekspor seperti minyak bumi, gas alam dan bahan
tambang lainnya serta hasil pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan
pariwisata selain itu hasil industri juga dapat diekspor keluar negeri.
Tenaga
ahli memanfaatkan sumber daya alam dengan teknologi yang canggih. Tenaga ahli
yang bermutu akan menghasilkan bibit yang bermutu dan menghasilkan tanaman
yang berkualitas dan menghasilkan industri yang berkualitas.
Tekhnologi
yang digunakan beserta alat-alatnya
yang berkembang dengan pesat dapat mempercepat dan mempermudah produktivitas
alat-alat yang digunakan tenaga ahli Indonesia masih kurang canggih seperti
di negara-negara maju tetapi tenaga ahli Indonesia masih bisa menghasilkan sumber
daya alam yang memuaskan.
Pencemaran
Terjadi karena ulah manusia sendiri yang menyebabkan berubahnya keadaan alam karena adanya unsur-unsur baru atau meningkatnya sejumlah unsur baru sehingga menyebabkan berbagai jenis pencemaran seperti :
1.
Pencemaran
udara : hasil limbah industri, limbah pertambangan, asap rokok, asap kendaraan
bermotor karena mengeluarkan karbon monoksida, karbon dioksida, belerang
dioksida yang menyebabkan udara tercemar dan susah bernafas.
2.
Pencemaran
suara-suara dapat ditimbulkan dari bisingnya suara mobil, kereta api, pesawat
udara dan jet.
3.
Pencemaran
air dari pembuangan sisa-sisa industri secara sembarangan bisa mencemarkan
sungai dan laut.
4.
Pencemaran
tanah.
Pencemaran
dapat dicegah dengan tidak membuang limbah sembarangan seperti pabrik-pabrik
yang selalu membuang limbah, mengurangi kendaraan berasap dan mengurangi
kebisingan yang ada dan banyak lagi yang lain.
Mengatasi
pencemaran
a.
Dengan
mengadakan penghijauan dan reboisasi, usaha penghijauan dan reboisasi hutan
dapat mencegah rusaknya lingkungan yang berhubungan dengan air, tanah dan
udara.
b.
Dengan
membuat sengkedan pada lahan yang miring untuk mencegah erosi dan menjaga
kesuburan tanah yang berbukit-bukit dan miring.
c.
Pengembangan
daerah aliran sungai merupakan daerah peta terhadap kerusakan dan pencemaran
karena sering terjadi pengikisan lapisan tanah oleh aliran sungai.
d.
Pengelolaan
air limbah
-
dengan
pengaturan lokasi industri agar jauh dari pemukiman penduduk
-
mencegah
agar saluran air limbah jangan sampai bocor
-
industri
yang menimbulkan air limbah, diwajibkan memasang peralatan pengendali
pencemaran air.
e.
Penertiban
pembuangan sampah dengan cara sebagai berikut :
-
Dibakar
-
untuk
makan ternak
-
untuk
biogas
-
untuk
bahan pupuk
f.
Dengan
mengadakan daur ulang terhadap bahan-bahan bekas dan sampah organik.
|
Macam-macam
sumber daya alam:
1. Sumber daya tanah.
Tanah
merupakan faktor penting bagi kehidupan manusia, karena akan mencukupi segala
kebutuhan hidup dengan segala hasil yang hampir seluruhnya tersedia di dalam
tanah. Namun pada umumnya setelah manusia menguasai sebidang tanah/lahan sering
menelantarkan tanah, dan mengabaikan fungsi tanah, sehingga tanah menjadi
rusak.
Penggunaan
tanah secara optimal seharusnya disertai dengan usaha-usaha untuk memperbaiki
daya dukung tanah. Mengingat betapa pentingnya tanah bagi kehidupan, maka perlu
menyusun perencanaan kegiatan sektoral sebaik mungkin dengan
mempertimbangkan keterbatasan tanah yang
tersedia.
2.
Sumber daya air
Air
merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang sangat penting. Pada umumnya
air digunakan manusia untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, untuk pertanian (irigasi),
untuk kepentingan industri, dan untuk pembangkit energi. Air termasuk sumber
daya alam yang dapat diperbaharui, karena secara terus menerus dipulihkan
melalui siklushidraulis yang belangsung secara alami. Namun jumlah keseluruhan
air yqng dapat diperoleh di seluruh dunia adalah tetap, persediaan totalnya
tidak dapat ditingkatkan atau dikurangi melalui upaya-upaya pengelolaan untuk
mengubahnya. Persediaan total dapat diatur secara lokal dengan dibuatnya
bendungan atau sarana lainnya.
Sejalan
dengan bertambahnya jumlah penduduk terutama di negara-negara berkembang,
kebutuhan air bersih untuk keperluan rumah tangga pun belum tercukupi. Hal ini
disebabkan mutu air bertambah buruk karena adanya pencemaran air yang
sebetulnya juga
disebabkan
oleh ulah manusia itu sendiri.
3. Sumber
daya Hutan
Istilah
hutan bukan hanya meliputi pepohonan, tetapi juga tanah, air, berbagai macam hewan,
mikro organisme, dan tumbuh-tumbuhan yang lain. Hutan merupakan bagian integral
dalam sistem kehidupan, berfungsi sebagai pengatur atmosfer, menghasilkan iklim
yang sejuk, menyimpan cadangan karbon, mengatur siklus hidraulis setempat, melindungi
tanah dari erosi, menguragi pengendapan tanah di sungai, dan mencegah bahaya
banjir. Hutan tropis mempunyai efek membantu menggerakkan sistem peredaran umum
atmosfer dan dapat mendistribusikan panas ke daerah beriklim sedang. Hutan di
daerah cekungan dapat mengatur aliran air, membantu mempertahankan habitat
untuk ikan yang bertelur sehingga menjadikan usaha perikanan menjadi
berkelanjutan.
Hutan adalah
ekosistem yang sangat beragam, menunjang kehidupan jutaan spesies dan
menyediakan berbagai sumber daya. Selain kayu, hutan juga menyediakan makanan
bagi satwa dan tumbuhan, bahan obat, serat-serat non kayu, bulu dan kulit
binatang. Semua itu akan memberikan penghasilan yang besar dan lapangan
pekerjaan yang tidak sedikit jumlahnya.
4.Sumber
daya Bahan
Tambang
Sumber
daya alam bahan tambang seperti minyak bumi, besi, batubara, timah, nikel, dan
sebagainya adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Pada umumnya berada
di bawah permukaan tanah. Pengolahan bahan tambang tersebut akan berdampak pada
lingkungan, tidak hanya terbatas pada lokasi pengolahannya tapi juga ke udara
dan tempat-tempat lain. Intensitas dan kadar dampak lingkungan sangat
dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan. Hal penting yang harus diperhatikan
adalah pemilihan teknologi yang dapat mengurangi
kerusakan lingkungan.
Oleh
karena itu pengelolaan sumber bahan mentah tersebut harus memperhitungkan segi
teknologi. Selain itu juga harus memperhitungkan dampak lingkungan sekecil
mungkin. Dalam usaha memanfaatkan sumber-sumber alam tersebut perlu dijaga agar
lingkungan hidup tidak menjadi rusak, kelestarian lingkungan perlu terus
diupayakan.
ABSTRAK
Tekanan terhadap sumber
daya hutan yang diakibatkan oleh over cutting, illegal logging, perambahan yang
disertai okupasi lahan, terutama pada era reformasi dan otonomi daerah sangat
dirasakan pada saat ini. Kondisi hutan yang menurun juga telah terjadi
sebagai akibat adanya kebakaran hutan dalam lima tahun terakhir terutama pada
tahun 1997/1998 (khususnya Provinsi Kalimantan Timur seluas ± 3,2 juta ha,
Baplan 1998). Hal tersebut mengakibatkan menurunnya kualitas
sumber daya hutan (SDH) yang akan berpengaruh kepada berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Sebagai langkah awal kegiatan pengelolaan hutan yang
berorientasi kepada Resource Base Management, perlu dilakukan rekalkulasi SDH
yang diharapkan dapat menjadi base line pembangunan kehutanan di masa datang
dan sekaligus sebagai bahan evaluasi kebijakan yang telah diterapkan selama
ini.
Rekalkulasi penutupan
lahan telah dilakukan terhadap kawasan hutan seluruh Indonesia berdasarkan data
digital penutupan lahan skala 1:250.000 hasil penafsiran citra Landsat 7 ETM+
Liputan tahun 1999/2000. Rekalkulasi dilakukan terhadap kawasan hutan
sesuai fungsinya, yaitu Hutan Lindung, Hutan Konservasi dan Hutan Produksi yang
dirinci menjadi Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan
Produksi yang dapat di-Konversi (HPK). Penafsiran penutupan lahan pada
masing-masing fungsi hutan secara garis besar dikelompokkan ke dalam hutan
primer, hutan sekunder, hutan tanaman, non hutan dan tidak ada data.
Hasil rekalkulasi
menunjukkan bahwa lahan berhutan pada: 1) hutan lindung seluas 20,80 juta ha
atau 69,6 % dari hutan lindung yang dilakukan rekalkulasi seluas 29,89 juta ha;
2) hutan konservasi seluas 12,879 juta ha atau 65,2 % dari hutan konservasi
yang dilakukan rekalkulasi seluas 19,74 juta ha; 3) hutan produksi seluas
48,953 juta ha atau 58,5 % dari hutan produksi yang dilakukan rekalkulasi
seluas 83,67 juta ha.
PENUTUP
Bioprospeksi yang memandang bahwa seluruh sumberdaya hayati dan organnya
memiliki potensi, prospek digunakan sebagai strategis pemanfaatan sumberdaya
hutan. Hutan yang menjadi simbol kekayaan sumberdaya hayati suatu negara harus
dilindungi melalui pengelolaan yang berkelanjutan karena hutan berfungsi
ekologis dan ekonomi. Kedua fungsi tersebut harus menjadi pertimbangan utama
dalam pemilihan strategis memanfaatkan hasil hutan. Prioritas ekonomi seperti
yang dilakukan selama ini dalam pengelolaan hutan justru telah mengakibatkan
biaya ekonomi tinggi dalam menanggulangi berbagai efek ekologis yang timbul.
Bioprospeksi dipandang efektif digunakan dalam pengelolaan sumberdaya hayati
khususnya hutan karena strategis dapat menerapan manajemen berwawasan
lingkungan dan bernilai ekonomi. Karena itu diperlukan kajian rancangan sistem
bioprospeksi yang sesuai dengan aspek ekonomi dan aspek ekologis dalam
pengelolaan sumberdaya alam.
Berdasarkan kajian teoritis dan filosofi konsep bioprospeksi dianggap sebagai
paradigma baru dalam pengelolaan sumberdaya hayati. Konsep ini bernilai ekonomi
tinggi dan berwawasan ekologis dalam pencarian strategis pengelolaan sumberdaya
hutan. Dilematis ekonomi dan ekologis dalam pemanfaatan hasil hutan secara
teori dapat diatasi dengan konsep bioprospeksi meskipun konsep ini tidak mutlak
aman bagi kelangsungan hidup spesies. Oleh karena itu diperlukan kajian
mendalam tentang sistem bioprospeksi meliputi kelayakan ekonomi, kelembagaan,
tersedianya sumberdaya manusia, dan mekanisme kerja bioprospeksi terutama
eksplorasi potensi, teknik pemanfaatan, dan pemasaran produk.
DAFTAR
PUSTAKA
Arthur, A. S. and Gordon, C. R. 2000. Valuing Research Leads:
Bioprospecting and the Conservation of Genetic Resources. Journal of
political economy, Columbia University
Dhillion. S and H. Svarstad. 2002. Bioprospecting: Effects on
Enviroment and Developent. MBIO. 31(6): 491-493 ISSN 0044 7447
Rodney, B. W. and Kumar, P. 2002. Royalties and benefit sharing
contracts in bioprospecting. Department of applied economics, Univesity of
Minnesota.
Sternlof, K. 1998. Bioprospecting could fuel economic insentive
for biological conservation. Journal of political economic.
Svarstad, H. and S. Dhillion. 2000. Responding to
bioprospecting from biodiversity in the south to medicines in the north. Oslo. Spartacus forlag. ISBN 82-430-0163-8.
Wildman H. G. 1995. Pharmaceutical Bioprospecting and its
relationship to the conservation and utilization of bioresources. http://www.iupac.org/symposia/proceeding/phuke97/wildman.html
William G. A., Parks, J. E, Russel, D. and I. Korovulavula. 1997. In
search of a cure: Bioprospecting as a marine conservation tool in Fijian
community. Program Lessons from the field.
No comments:
Post a Comment