Sunday, 23 March 2014

Contoh Makalah Geografi Sumber Daya

Tugas  : Individu
MK      : Geografi Sumber Daya

MENGELOLA LAHAN HUTAN YANG BENAR








Oleh:

JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS  MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2012



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang                  
Potensi hutan dicirikan keanekaragaman vegetasi karena merupakan sumberdaya paling dominan dari komponen hutan, memiliki multifungsi, dan mudah digunakan. Secara umum ada dua fungsi utama vegetasi hutan alam yaitu fungsi material dan ekologis. Fungsi material menunjuk pada penyedia barang atau bahan yang diperlukan manusia untuk berbagai keperluannya, sedangkan fungsi ekologis menunjuk pada regulator kondisi alam yang memungkinkan sumberdaya lainnya tumbuh dan berkembang di dalamnya.
Teknologi pemanfaatan vegetasi dalam fungsi material semakin baik sehingga meningkatkan nilai ekonomi hasil hutan dan menjadi sumber devisa andalan bagi negara-negara yang memiliki hutan. Multimanfaat vegetasi tersebut meningkatkan kecenderungan eksploitasi hutan secara berlebihan yang dilakukan secara legal maupun ilegal oleh negara-negara pemilik hutan. Fenomena ini yang menyebabkan semakin menurunnya keanekaragaman hayati dan meluasnya lahan gundul di bumi ini.
 Hilangnya vegetasi penutup lahan yang semakin banyak akan mempengaruhi kondisi ekologis yaitu terganggunya proses alamiah vital seperti siklus material (siklus hidrologi, karbondioksida, dan lain-lain) yang dapat menyebabkan perubahan iklim mikro dan makro dan pada gilirannya mempengaruhi kehidupan spesies lainnya termasuk manusia. Oleh karena itu pemanfaatan vegetasi hutan alam sebagai sumber devisa dan pendapatan masyarakat merupakan pertarungan antara ekonomi dan ekologi. Indonesia yang memiliki hutan alam yang luas telah memilih alternatif ekonomi dalam pengelolaan hutannya sehingga perubahan ekologis semakin terasa.
Pendekatan ekologis dalam pemeliharaan kawasan hutan di Indonesia sukar dilakukan karena hutan masih merupakan sumber devisa andalan dan sumber pendapatan masyarakatnya. Karena itu diperlukan strategi pengelolaan hutan yang bernilai ekonomi tinggi dan berwawasan lingkungan (berkelanjutan).
Hutan tropis Indonesia sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Untuk itu dalam pengurusan dan pengelolaan hutan diperlukan perlindungan dan pemanfaatan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik generasi sekarang maupun yang akan datang.

Untuk menjamin status, fungsi, kondisi hutan dan kawasan hutan dilakukan upaya perlindungan hutan yaitu mencegah dan membatasi kerusakan dan pengurangan luas tutupan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, hama dan penyakit serta berbagai gejala alam lainnya.  Perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi hutan tercapai secara optimal dan lestari.
Sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 guna mencapai tujuan secara maksimal dan merupakan umpan balik bagi perbaikan dan atau penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan. Demikian pula masyarakat dan atau perorangan turut berperan serta dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung sehingga masyarakat dapat mengetahui rencana peruntukan hutan dan pemanfaatannya.
Berdasarkan data yang ada, sumber daya hutan selama periode 1985-1997 untuk 3 pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi mengalami laju deforestasi seluas ± 1,6 juta ha per tahun (Baplan, 1998) yang antara lain disebabkan oleh pengelolaan hutan yang tidak tepat, pembukaan kawasan hutan dalam skala besar untuk berbagai keperluan pembangunan, over cutting dan illegal loging, penjarahan, perambahan, okupasi lahan dan kebakaran hutan.  Oleh karena itu pemantauan kondisi sumberdaya hutan tingkat nasional perl dilakukan secara periodik paling tidak 3 tahun sekali.
Data kondisi sumberdaya hutan di seluruh Indonesia sebagai bagian dari sistem informasi kehutanan merupakan bahan pendukung dalam perencanaan pembangunan kehutanan di masa mendatang yaitu sebagai bahan dalam kegiatan pemantauan (monitoring) dan pengawasan terhadap pengelolaan hutan yang telah dilaksanakan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dilakukan Rekalkulasi Sumber Daya Hutan, khususnya rekalkulasi penutupan lahan pada kawasan hutan, baik di dalam Hutan Konservasi, Hutan Lindung, maupun Hutan Produksi di seluruh Indonesia.  Hasil Rekalkulasi SDH tahun 2003 ini merupakan upaya melengkapi dan menyempurnakan hasil rekalkulasi tahun 2002 dengan menambahkan data penutupan lahan Provinsi Papua.
B.     Tujuan
Tujuan rekalkulasi sumber daya hutan adalah untuk menyajikan data kondisi penutupan lahan pada kawasan hutan yaitu pada Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi sebagai bahan dalam perencanaan pengelolaan hutan secara lestari (Sustainable Forest Management).
C.    Sasaran
Tersedianya data penutupan lahan pada hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.
D.    Ruang Lingkup
Penutupan lahan per provinsi seluruh Indonesia, baik kawasan hutan maupun Areal Penggunaan Lain yang dirinci ke dalam 24 kelas.






BAB II
METODOLOGI
 

A.    Sumber Data
Data yang digunakan dalam rekalkulasi sumberdaya hutan adalah data digital yang tersedia pada Pusat Perpetaan Kehutanan Badan Planologi Kehutanan pada tingkat ketelitian skala 1:250.000.  Data tersebut meliputi:
1.         Data digital penutupan lahan hasil penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 1999/2000.  Penutupan lahan diklasifikasi menjadi 24 klas, yaitu sebagai berikut:
a.       Hutan;
1.           Hutan lahan kering primer
2.           Hutan lahan kering sekunder
3.           Hutan rawa primer
4.           Hutan rawa sekunder
5.           Hutan mangrove primer
6.           Hutan mangrove sekunder
7.           Hutan tanaman
b.      Non Hutan;
1.        Semak/Belukar
2.        Belukar rawa
3.        Savana
4.        Perkebunan
5.        Pertanian lahan kering
6.        Pertanian lahan kering dan Semak
7.        Transmigrasi
8.        Sawah
9.        Tambak
10.    Tanah Terbuka
11.    Pertambangan
12.    Pemukiman
13.    Tubuh Air
14.    Rawa
15.    Airport
c.       Tidak Ada Data;
1.    Awan
2.    Tidak Ada Data
2.         Data digital kawasan hutan bersumber dari Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan untuk 23 propinsi (Tahun 1999-2001), sedangkan untuk Propinsi Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah bersumber dari Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Kawasan Hutan berdasarkan fungsinya terdiri dari Hutan Lindung, Hutan Konservasi (yaitu KSA-KPA dan Taman Buru), Hutan Produksi (yaitu Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK).
B.     Analisa dan Penyajian Data
Rekalkulasi sumber daya hutan dilaksanakan melalui analisa data penutupan lahan pada kawasan hutan dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis.  Tahapan rekalkulasi adalah sebagai berikut :
           1.            Penyiapan data digital kawasan hutan dan penutupan lahan provinsi.
           2.             Overlay data digital penutupan lahan dengan data kawasan hutan.
           3.            Penghitungan luas penutupan lahan pada setiap kawasan hutan.
           4.            Dalam penghitungan luas menggunakan spesifikasi: proyeksi yang digunakan adalah Mercator, spheroid WGS 84, angka luas dibulatkan kedalam ribu ha.
           5.            Penyajian luas penutupan lahan dalam bentuk peta dan tabel.











 BAB III
HASIL REKALKULASI SUMBER DAYA HUTAN

            Total areal yang dilakukan rekalkulasi seluas 187,784 juta ha terdiri dari kawasan hutan seluas 133,128 juta ha dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 54,656 juta ha.  Hasil Rekalkulasi menunjukkan bahwa:
  1. Luas lahan berhutan pada kawasan hutan untuk seluruh daratan Indonesia adalah 83,892 juta ha atau 63,0 %, non hutan seluas 31,952 juta ha atau 24,0 % dan tidak ada data seluas 17,284 juta ha atau 13,0 %. 
  2. Pada Areal Penggunaan Lain (APL) luas lahan berhutan 8,066 juta ha atau 14,8 %, luas lahan non hutan 41,374 juta ha atau 75,7 % dan tidak ada data seluas 5,216 juta ha atau 9,5 %.
A.    Rekalkulasi pada Hutan Lindung
Hasil penghitungan luas  penutupan lahan pada Hutan Lindung menunjukkan:
1.      Provinsi Kalimantan Tengah memiliki lahan berhutan tertinggi yaitu 90,8 %.  Sedangkan provinsi lain yang memiliki lahan berhutan diatas 80 % adalah Nangroe Aceh Darussalam, Jawa Timur dan Kalimantan Timur.
2.      Penutupan lahan berhutan untuk Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo, NTB dan Papua berkisar antara 75 % sampai 79 %.
3.      Provinsi Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur memiliki lahan berhutan kurang dari 40 % dan Provinsi Lampung memiliki lahan berhutan terendah yaitu 17,4 %.
Kondisi sumberdaya hutan pada Hutan Lindung memerlukan perhatian khusus karena Hutan Lindung merupakan kawasan yang memiliki fungsi hidrologis untuk menunjang kehidupan di kawasan bawahnya.  Beberapa provinsi yang memiliki Hutan Lindung yang minim dengan penutupan berhutan yang rendah perlu diperhitungkan daya dukung hidrologinya dalam memenuhi kebutuhan akan air, dengan alternatif peningkatan peran kawasan lindung lainnya seperti sempadan sungai, mata air dan danau di luar kawasan hutan. Kondisi tekanan penduduk terhadap hutan menjadi salah satu pertimbangan dalam melakukan rehabilitasi terhadap Hutan Lindung.
Untuk Provinsi DKI Jakarta yang hanya memiliki kawasan hutan seluas 100 ha dengan penutupan lahan berupa non hutan, maka peran kawasan lindung seperti jalur hijau dan kawasan sempadan sungai perlu ditingkatkan dalam menunjang fungsi hidrologis sungai-sungai yang ada.  Pembangunan Hutan Kota secara nyata akan sangat membantu upaya konservasi air di DKI Jakarta khususnya dan di wilayah perkotaan umumnya.
B.     Rekalkulasi pada Hutan Konservasi
Hasil penghitungan luas penutupan lahan pada Hutan Konservasi menunjukkan:
1.      Lahan berhutan di Pulau Sumatera pada Provinsi Nangroe Aceh Darussalam 88,6 % dan Bengkulu 84,6 %, sedangkan Provinsi Sumatera Selatan sudah di bawah 50 %.
2.      Provinsi lainnya yang masih memiliki lahan berhutan di atas 80 % adalah Provinsi Banten, Jawa Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.  Di Pulau Sulawesi hanya Provinsi Gorontalo yang masih di atas 70 %, sedangkan provinsi lainnya, yaitu Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Tenggara sekitar 50 % serta Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan kurang dari 50 %.
3.      Untuk Provinsi Papua (Irian Jaya) dari total kawasan konservasi seluas 8,156 juta ha, lahan berhutan sebanyak 66,0 %, Non hutan 12,6 % dan tidak ada data 21,4 %.
4.      Lahan berhutan pada kawasan konservasi di DKI Jakarta hanya 8,9 % dari total luas daratan kawasan konservasi seluas 272,34 ha, selebihnya didominasi oleh perairan seluas 108.000 ha.

C.     Rekalkulasi pada Hutan Produksi
Penutupan lahan pada Hutan Produksi dirinci menjadi Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi yang dapat di-Konversi sebagaimana berikut:
1.      Hutan Produksi
Hasil perhitungan luas penutupan lahan pada Hutan Produksi menunjukkan:
a.       Provinsi Papua memiliki 78,3 % lahan berhutan.  Sedangkan Provinsi lain yang masih memiliki lahan berhutan diatas 60 % adalah Nangroe Aceh Darussalam, Riau, Jaa Tengah, Kalimantan Tengah, Gorontalo dan Nusa Tenggara Barat.
b.      Provinsi yang memikili lahan berhutan di bawah 40 % adalah Sumatera Selatan, Bangka Belitung, DI. Yogyakarta, Bali dan Nusa Tenggara Timur.
c.       Provinsi yang memiliki hutan produksi dengan luasan yang kecil adalah Bali seluas 2,1 ribu ha dengan penutupan berhutan 7,3 %, DI. Yogyakarta seluas 12,6 ribu ha dengan penutupan berhutan 7,5 % dan Banten seluas 27,5 ribu ha, dengan penutupan lahan berhutan 41,6 %.
Pada kawasan Hutan Produksi yang umumnya diperuntukkan bagi pemanfaatan hasil hutan kayu, terdapat hanya lima provinsi yang memiliki penutupan lahan berhutan di atas 60 %, sedangkan provinsi lainnya sudah di bawah 60 %.  Penutupan lahan dengan kriteria hutan tanaman hasil kegiatan Hutan Tanaman Industri, terdata umumnya pada Indonesia bagian Barat.  Sedangkan di Indonesia bagian Timur, walaupun sudah dilaksanakan kegiatan HTI namun hasilnya tidak dapat diamati dari hasil penafsiran citra satelit, kecuali di Provinsi Papua.  Oleh karena itu, untuk memenuhi bertambahnya kebutuhan akan kayu khususnya pada Indonesia bagian Timur, kegiatan hutan tanaman dapat menjadi prioritas kegiatan pada program pembangunan kehutanan di wilayah tersebut.
2.      Hutan Produksi Terbatas
Hasil perhitungan luas penutupan lahan pada Hutan Produksi Terbatas menunjukkan:
    1. Provinsi Papua memiliki lahan berhutan 90,5 % dan Kalimantan Tengah memiliki 84,3 % dari luas kawasan HPT yang ada.  Provinsi lain yang memiliki lahan berhutan di atas 70 % adalah Provinsi Bengkulu, Kalimantan Timur, Gorontalo dan Nusa Tenggara Barat.
    2. Provinsi yang memiliki lahan berhutan di bawah 40 % adalah Provinsi Sumatera Selatan, Lampung dan Nusa Tenggara Timur.  Sedangkan Provinsi Bali dengan kawasan HPT seluas 6,3 ribu ha, hanya 14,7 % yang berhutan.
Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) merupakan cadangan potensi kayu dan sumber benih permudaan alam. Dari hasil rekalkulasi sumberdaya hutan pada seluruh provinsi, terdata memiliki penutupan lahan berhutan yang umumnya kurang dari 70 % dengan penutupan hutan sekunder yang lebih luas dibandingkan hutan primernya.
Seperti halnya pada hutan Produksi, penutupan hutan tanaman di kawasan HPT sangat minim, kecuali Provinsi Sumatera Utara dan Riau yang memilik hutan tanaman lebih luas dibandingkan hutan primernya. Umumnya hutan tanaman terdapat pada Indonesia Bagian Barat, sedangkan di Indonesia bagian timur terdapat hutan tanaman seluas 0,6 ribu ha di Provinsi Papua.
Upaya regenerasi jenis-jenis kayu unggulan dan langka, menjadi pertimbangan utama dalam rangka mempertahankan keanekaragaman jenis flora yang ada di Indonesia.  Tidak saja untuk jenis kayu unggulan bagi perdagangan, melainkan pula guna mempertahankan ketersediaan plasma nutfah yang terdapat di Hutan Produksi.
3.      Hutan Produksi yang dapat di-Konversi
Hasil perhitungan luas penutupan lahan pada Hutan Produksi yang dapat di-Konversi (HPK), menunjukkan:
    1. Tidak seluruh provinsi memiliki kawasan HPK, dan dari yang memiliki HPK Provinsi Sulawesi Utara memiliki lahan berhutan 84,4 %.  Provinsi lain yang memiliki lahan berhutan di atas 60 % adalah Gorontalo dan Sulawesi Tengah.  Papua dengan HPK seluas 8,783 juta ha memiliki penutupan lahan berhutan seluas 6.401,4 ribu ha atau 72,9%
    2. Provinsi lainnya memiliki lahan berhutan berkisar antara 30 % sampai 40 %, beberapa di bawah 20 % dan Provinsi Sumatera Selatan hanya 3,0 %. Khusus Pulau Jawa tidak memiliki kawasan hutan Produksi yang dapat dikonversi.
Hutan Produksi yang dapat di-Konversi (HPK) adalah kawasan hutan diluar  hutan tetap dan hanya beberapa provinsi yang masih memilikinya, provinsi lainnya sudah memasukkan kawasan hutan ini ke dalam Areal Penggunaan Lain (APL).  Umumnya kawasan HPK diperuntukkan bagi kegiatan transmigrasi dan perkebunan, dengan alternatif pelepasan kawasan menjadi kawasan non hutan negara atau Areal Penggunaan Lain (APL).  Dalam kenyataannya kegiatan transmigrasi tidak selalu dilaksanakan sesuai ketentuan dan hanya memanfaatkan potensi kayunya saja, sedangkan kegiatan perkebunan memerlukan waktu yang lama untuk perizinannya.  Akibat lebih lanjut adalah timbulnya okupasi areal tersebut oleh masyarakat.
Dengan demikian, kebijakan penghentian sementara pelepasan kawasan hutan masih memerlukan konsepsi yang jelas mengenai pengelolaan kawasan hutan yang dapat dikonversi, sehingga  upaya pemanfaatan kawasan tersebut dapat memberikan jaminan kelestarian sumber daya alam dan keberlangsungan pengusahaannya.


BAB IV
BIOPROSPEKSI DALAM PENGELOLAAN HUTAN

A.      Tinjauan Filosofi Pengelolaan Hutan
Manusia di alam sebagai obyek kehidupan sehingga manfaat segala sesuatu yang ada dikaitkan dengan keperluan manusia itu sendiri. Berbagai sumberdaya yang ada di alam ini disebut bermanfaat jika sumberdaya itu diperlukan oleh manusia. Hal ini sesuai dengan ajaran islam yang menganggap bahwa manusia adalah mahluk paling mulia dan paling sempunra dibanding mahluk lainnya termasuk malaikat. Predikat mulia dan sempurna manusia tidaklah gratis melainkan mempunyai tugas kehalifaan yaitu memakmurkan bumi dan isinya.Tugas kehalifaan adalah perintah Allah SWT bagi umat islam sehingga merupakan kewajiban yang akan dipertanggungjawabkannya kepada sang Pencipta. Salah satu tugas kehalifaan itu adalah pengelolaan sumberdaya alam yang berwawasan lingkungan.
Kelalaian manusia dalam pengelolaan sumberdaya alam akibatnya akan dialami oleh manusia itu sendiri. Karena itu bencana alam dan berbagai perubahan ekologis yang terjadi dibelahan bumi ini sebagai akibat perbuatan manusia itu sendiri. Manusia dalam melakukan tugas kehalifaannya Allah SWT memberikan modal utama kepadanya yaitu akal dan pikiran yang tidak diberikan kepada mahluk lainnya termasuk malaikat. Akan tetapi pada waktu yang sama manusia diberikan nafsu untuk menikmati berbagai fasilitas yang ada di alam ini. Penggunaan nafsu yang tidak sesuai dengan sunatullah (hukum alam) dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada akan menimbulkan berbagai bencana terhadap sumberdaya lain termasuk manusia itu sendiri.
Hutan adalah salah satu sumberdaya alam yang harus dimanfaatkan sesuai dengan hukum-hukum alam dan dipertanggungjawabkan kepada Penciptanya. Hutan yang menyediakan berbagai sumberdaya untuk keperluan manusia boleh dikelolah secara ekonomi tetapi berawawasan lingkungan. Pengelolaan hutan yang tidak memperhatikan fungsi hutan akan berakibat pada manusia itu sendiri. Karena itu pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan merupakan kewajiban bagi umat manusia yang merupakan bagian dari tugas kehalifaannya.
B.       Apa itu Bioprospeksi
Secara filosofi potensi atau fungsi sumberdaya alam dalam kehidupan manusia tergantung pada jumlah dan jenis senyawa kandungannya. Sumberdaya alam yang berfungsi sebagai bahan pangan karena senyawa kandungannya yang paling dominan adalah protein, karbohidrat, dan lipid-lipid; vegetasi yang digunakan bidang perkayuan karena mengandung senyawa-senyawa polifenol, selulosa, dan lignin-lignin dengan perbandingan tertentu; sumberdaya sebagai sumber energi karena mengandung senyawa-senyawa hidrokarbon; sumberdaya hayati yang digunakan sebagai obat-obatan, agrokimia, dan material sains karena mengandung senyawa-senyawa alkaloid, terpen-terpen, flavonoid; dan vegetasi yang dominan mengandung selulosa digunakan sebagai bahan dasar kertas serta berbagai contoh lainnya. Variasi dan komposisi senyawa-senyawa tersebut yang menjadikan sumberdaya hayati bernilai ekonomi tetapi nilai ekonomi itu pula yang memicu kerusakan sumberdaya hutan karena dimanfaatkan atau dieksploitasi secara berlebihan.
Potensi sumberdaya hayati yang umum diperlukan manusia adalah bahan untuk keperluan perumahan, bahan dasar pakaian, bahan perabotan, dan bahan pangan. Potensi-potensi tersebut didasarkan pada variasi dan komposisi senyawa kandungan spesies. Pemanfaatan spesies sumber pangan telah dilakukan secara berkelanjutan karena spesies-spesiesnya memiliki daur hidup yang pendek sehingga mudah dibudidayakan. Berbeda dengan spesies sumber non-pangan umumnya memiliki daur hidup yang panjangsehingga termasuk kategori sumberdaya alam takterpulihkan.
Pemanfaatan sumberdaya non-pangan menimbulkan masalah ekologis karena sukar regenerasi. Sumberdaya yang berpotensi untuk bahan perumahan, bahan perabotan, dan pakaian umumnya adalah vegetasi dan bagian yang dimanfaatkan adalah batang atau perkayuan. Bentuk pemanfaatan inilah yang menyebabkan semakin berkurangnya keanekaragaman hayati dan meluasnya lahan gundul pada negara-negara pemilik hutan termasuk Indonesia.
Potensi senyawa kandungan spesies yang belum termanfaatkan dengan baik adalah alkaloid, terpen-terpen, fenol-fenol, dan flavanoid. Potensi utama kelompok senyawa tersebut adalah sebagai obat-obatan, agrokimia, dan material sains. Menurt Wildman (2000) potensi tersebut memiliki nilai ekonomi yang sama dengan perkayuan jika dikelolah secara baik. Kimia bahan alam suatu bidang ilmu yang berperan dalam kegiatan pemanfaatan spesies sebagai sumber obat-obatan, agrokimia, dan material sains.
Rangkaian kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati dalam bidang obat-obatan, agrokimia, dan material sains disebut bioprospeksi yang meliputi kegiatan eksplorasi potensi spesies, teknik pemanfaatan, dan pengembangan potensi melalui modifikasi struktur molekul senyawa kandungannya. Ekplorasi potensi senyawa suatu penelitian untuk menemukan senyawa kandungan spesies sehingga memudahkan dalam pencarian teknik pemanfaatan serta pengembangan atau perluasan manfaat. Dengan demikian pengertian bioprospeksi adalah kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati dalam bidang obat-obatan, agrokimia, dan material sains. Potensi obat-obatan dan agrokimia berdasarkan sifat bioaktif senyawa kandungan suatu spesies sedangkan material sains didasarkan pada profil struktur molekul senyawa yang prospek dikembangkan atau dimodifikasi.
C.      Apakah Bioprospeksi Berwawasan Lingkungan
Pemanfaatan hasil hutan yang dilakukan selama ini oleh berbagai negara pemilik hutan adalah bidang perkayuan sehingga potensi hutan identik dengan perkayuan. Nilai ekonomi perkayuan sangat tinggi sehingga telah menjadi sumber devisa negara pemilik hutan termasuk Indonesia. Nilai ekonomi tersebut semakin meningkat dengan ditemukannya berbagai teknologi pengolahan kayu. Fenomena ini mempercepat penurunan keanekaragaman hayati karena vegetasi yang berpotensi ekonomi tinggi umumnya sukar bahkan tak dapat dibudidayakan. Kualitas perkayuan tergambar dari performan sifat fisika batang vegetasi dan perfeorman ini berasal dari variasi dan komposisi senyawa kandungannya.
Menurut kimia bahan alam semua vegetasi berpeluang mengandung metabolit yang berpotensi bioprospeksi yang tersebar dalam semua organ sehingga tidak ada perbedaan potensi antara batang, daun, kulit batang, dahan, bunga, dan buah. Apabila suatu kelompok senyawa tersebut ditemukan dalam akar juga dapat ditemukan pada organ lain tetapi berbeda kuantitas. Kuantitas senyawa tersebut dapat ditingkatkan dengan cara biotransformasi.
Permasalahan utama dalam bioprospeksi adalah diperlukan data base senyawa beserta potensinya dari seluruh organ spesies untuk keperluan rekayasa pemanfaatan. Eksplorasi data base tersebut diperlukan sumberdaya manusia yang handal dan fasilitas kimia yang memadai. Karena itu konsep bioprospeksi belum dapat diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya hutan karena negara-negara pemilik hutan umumnya adalah negara berkembang atau miskin. Namun demikian kegiatan bioprospeksi telah dilakukan melalui proyek penelitian dan tugas akhir mahasiswa jurusan Kimia dan Farmasi di berbagai negara dalam prespektif ilmu pengetahuan, sehingga data base beberapa spesies telah diketahui dengan baik.
Data base tersebut dapat digunakan oleh negara-negara pemilik hutan untuk mengembangkan bioprospeksi dalam pengelolaan sumberdaya hayati yang dimilikinya. Data base potensi senyawa kandungan seluruh organ spesies mutlak diperlukan dalam kaitannya dengan alternatif pemilihan organ spesies yang akan dimanfaatkan. Pada spesies vegetasi yang memiliki daur hidup panjang atau tidak dapat dibudidayakan organ yang dapat dimanfaatkan adalah daun atau buah jika ada.
Pemanfaatan organ tersebut tidak mengganggu kelangsungan hidup spesies sehingga dipandang sebagai strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang berwawasan lingkungan. Vegetasi yang dapat dibudidayakan seluruh organnya dapat dimanfaatkan sehingga memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi.
Fakta menunjukkan bahwa banyak sumberdaya hayati di sekitar kita belum termanfaatkan bahkan dianggap sebagai gulma atau hama pengganggu spesies lain. Menurut kimia bahan alam semua spesies berpotensi berdasarkan komposisi dan variasi senyawa kandungannya. Profil potensi senyawa kandungan spesies tersebut perlu diungkap sehingga dapat digunakan dalam kehidupan ini. Bioprospeksi berorientasi pada optimalisasi potensi seluruh sepesies sehingga spesies yang dianggap liar atau gulma menjadi spesies budidaya.
Terungkapnya potensi seluruh spesies dan semua organ spesies akan memicu eksploitasi spesies itu sebagaimana yang dilakukan terhadap vegetasi bidang perkayuan. Karena itu konsep bioprospeksi tidak mutlak aman terhadap kelangsungan hidup spesies terutama pada spesies yang memiliki daur hidup panjang atau takterpulihkan. Konsep bioprospeksi berwawasan lingkungan dalam pemanfaatan spesies yang takterpulihkan jika bagian yang digunakan adalah bukan organ vital bagi kelangsungan hidup spesies itu. Terhadap vegetasi tersebut konsep bioprospeksi berwawasan lingkungan jika bagian yang dimanfaatkan adalah daun atau buah jika ada, sedangkan vegetasi yang mudah dibudidayakan dapat menggunakan seluruh organnya. Dengan demikian bioprospeksi akan berawawasan lingkungan untuk pengelolaan sumberdaya hayati jika dilakaun dengan sistem manajemen yang tepat. 
D.      Prospek Bioprospeksi di Indonesia
Indonesia memiliki hutan yang luas dan keanekaragaman hayati yang banyak. Hasil hutan Indonesia yang telah dimanfaatkan secara besar-besaran dan telah menjadi sumber devisa negara dan pendapatan masyarakatnya adalah vegetasi perkayuan. Pemanfaatan sumberdaya vegetasi bidang perkayuan tersebut telah mengakibatkan semakin menurunnya keanekeragaman hayati dan meluasnya lahan gundul. Meskipun demikian eksploitasi hutan Indonesia merupakan kebijakan pemerintah melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang terus dilakukan.
Perubahan iklim mikro dan makro telah terjadi sehingga bencana banjir dan kemarau dibeberapa daerah di Indonesia silih berganti. Peran ekologis vegetasi semakin menurun karena banyaknya vegetasi penutup lahan yang hilang, sedangkan aktivitas manusia yang melepaskan aneka gas di udara juga semakin meningkat. Fenomena ini telah banyak menimbulkan masalah termasuk kesehatan masyarakat. Fungsi vegetasi penutup lahan sangat penting sehingga diperlukan pendekatan alternatif pengganti perkayuan dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Bioprospeksi dapat digunakan sebagai alternatif strategis pemanfaatan sumberdaya hutan pengganti perkayuan. Potensi bioprospeksi dapat diketahui dua cara yaitu melalui cara tradisional dan ilmiah. Banyak sumberdaya hayati di Indonesia telah diketahui potensinya melalui kedua cara tersebut. Potensi spesies-spesies tersebut perlu dilakukan penilaian ekonomi sehingga konsep bioprospeksi dapat diterapkan secara formal dalam pengelolaan hutan.
Pendekatan ekologis dalam pemeliharaan hutan di Indonesia belum dapat dilakukan karena hutan masih  merupakan sumber devisa negara dan pendapatan masyarakatnya. Eksploitasi hutan alam yang dilakukan selama ini dapat dihentikan melalui pendekatan ekonomi yang berwawasan lingkungan. Indonesia memiliki berbagai spesies endemik dan non-endemik berpotensi bioprospeksi yang perlu dikelolah secara baik yaitu bernilai ekonomi tinggi dan berwawasan lingkungan sehingga dapat menggantikan bidang perkayuan.
Pengelolaan dengan sistem bioprospeksi dapat dilakukan di Indonesia sehubungan dengan potensi sumberdaya hayatinya yang banyak. Penerapan konsep ini diperlukan landasan hukum oleh pemerintah pusat atau daerah. Dalam kaitannya dengan undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah pengelolaan sumberdaya alam dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Dengan demikian konsep bioprospeksi prospek dilakukan di Indonesia terutama daerah yang memiliki sumberdaya hutan yang cukup.
Sebagai reaksi atas masih berlangsungnya penggunaan paradigma lama di dalam pengelolaan sumber daya hutan, sudah waktunya dibangun wacana dan paradigma baru yang lebih berorientasi pada kesejahteraan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan juga ekologinya. Negara harus melibatkan dan memasukan dimensi masyarakat lokal ke dalam kebijakan pengelolaan sumber daya hutan.
Gagasan yang strategis ini tentu saja harus didukung dengan fakta-fakta lapangan, bahwa pengelolaan dan pengusahaan hutan yang tidak memberi akses, mengakomodasi dan melibatkan partisipasi rakyat terbukti tidak efektif dan efisisen. Serta membuktikan kalau komunitas-komunitas lokal memiliki kearifan tradisional yang bernuansa ekonomis, ekologis dan mampu menyelenggarakan pengelolaan sumber daya hutan secara lestari.
Implementasi model pengelolaan yang berbasiskan rakyat menuntut perubahan-perubahan yang tidak hanya pada tatanan peraturan perundang-undangan, struktur kelembagaan, administrasi dan prosedur, tetapi juga perubahan metode, strategi, teknik-teknik partisipatif, termasuk perubahan sikap dan perilaku aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya hutan. (Rakhmat Hidayat, Deputi Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi). perkebunan besar swasta, HPH dan HTI yang justu semakin memporak-porandakan bentuk-bentuk pengelolaan tradisional mereka. Sampai saat ini, manusia masih memerlukan dukungan hasil sumberdaya hutan untuk mempertahankan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya. Sehingga keberadaan hutan secara signifikan merupakan factor yang strategis dalam kerangka pembangunan umat manusia.
Hutan mempunyai kedudukan dan peranan sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan nasional. Hal ini disebabkan hutan sebagai sumber kekayaan alam yang bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Hutan sebagai salah satu penentu sistem kehidupan manusia dan memberikan manfaat serbaguna yang dibutuhkan sepanjang masa guna pemenuhan kebutuhan manusia terhadap produk-produk dan jasa hutan .
Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, Oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan juga mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.
Konsep hutan dikuasai negara sebagaimana diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang mengacu pada pasal 33 UUD 1945 dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat. Hal ini juga ditegaskan dalam Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam rangka Negara Kesatuan Repbulik Indonesia.
Ketentuan pasal 33 ayat  (3) UUD 1945 tersebut adalah delegation of authority yaitu suatu penyerahan sebagian urusan pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan kepada pemerintah daerah dalam rangka mengikutsertakan peran pemerintah daerah untuk membantu pemerintah pusat.
Kewenangan pengelolaan yang ada pada UU Nomor 41 Tahun 1999  UU Nomor 19 Tahun 2004, berhubungan dengan aturan perundang-undangan lainnya. Dapat dikatakan undang-undang ini lintas sektoral. Antara lain dapat kita cermati pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU Nomor 24 Tahun 1992 jo UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU Nomor 22 Tahun 1999 jo UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 1 angka 7 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dirumuskan “desentraliasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem  Negara Kesatuhan Republi Indonesia”. Terkait dengan kewenangan dalam hal pengelolaan sumber daya alam termasuk dalam hal ini sumber daya hutan, sudah diatur pada  pasal 10 ayat (1) Nomor 22 Tahun 1999  tentang Pemerintahan Daerah bahwa “daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan perundang-undangan. Namun, pasal 7 sangat kontradiktif dengan pasal 10 UU Nomor  22 Tahun  1999. Hal ini karena ada pemahaman bahwa pengelolaan sumber daya hutan termasuk kewenangan pemerintah pusat.
Pemanfaatan sumber daya alam, termasuk hutan diatur pada pasal 17 dan pasal 18 UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Pengelolaan sumber daya hutan sebagai kekayaan negara dalam kerangka Negara Kesatuhan Repbulik Indonesia (NKRI), merupakan hak negara. Philipus M  Hadjon menjelaskan secara konstitusional wewenang negara terkait kekayaan negara dibedakan atas dua (2) bagian yakni:
  1. Pemerintahan mempunyai hak untuk memiliki kekayaan negara secara domein privat. Dasar perolehannya secara konstitusi pasal 23 UUD 1945 pada Bab VIII tentang keuangan;
  2. Hak pemerintah terhadap kekayaan negara sebagai domein publik dasar konsitusinya ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Bab XIV tentang perekonomian Naional dan Kesejahteraan Sosial.
Di sisi lain wewenang pengusahaan hutan dapat kita lihat pada pasal 4 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004. Bunyinya, pengusahaan hutan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada Pemerintah Pusat untuk:
a.       Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
b.      Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan
c.       Mengatur dan menetapkan hubungan hkum antara orang dan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Kedepan, kewenangan pengelolaan yang sudah ada aturanya, seharusnya ada sinkronisasi pada pola pembagian kewenangan pengelolaan sumber daya hutan antara pemerintah pusat dan daerah.
 Semenjak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 1957 tentang Penyerahan Sebagian Dari Urusan Pemerintah Pusat di Lapangan Perikanan Laut, Kehutanan, dan Karet Rakyat kepada Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I, Pemerintah Indonesia terus menerus melakukan berbagai perubahan kebijakan untuk mendesentralisasikan sebagian urusan pemerintahan.
Pada tahun 1974 Pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037), yang kemudian dipandang tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah dan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti dengan Undang- Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang yang terakhir inipun kemudian dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga pada tahun 2004 pemerintah sekali lagi menerbitkan Undang-Undang No.32/2004 tentang Pemerintah berbagai perubahan kebijakan desentralisasi pengurusan sumberdaya hutan sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada kebijakan desentralisasi. Lebih lanjut, dalam makalah ini juga dibahas dampak perubahan kebijakan tersebut terhadap kondisi kawasan dan sumberdaya hutan di Indonesia, serta pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat, terutama yang berada di dalam maupun di sekitar kawasan hutan. Periode Pemerintahan Kolonial Belanda Hingga 1957 Sejarah pengurusan sumberdaya hutan di Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaruh pengurusan sumberdaya ini oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Peraturan mengenai kehutanan pertama diterbitkan pada pemerintahan Daendels tahun 1808 yang lebih banyak mengurus sumberdaya hutan di Pulau Jawa, sedangkan sumberdaya hutan di luar Jawa belum menjadi perhatian sama sekali. Situasi seperti ini terus berlanjut hingga Indonesia mencapai kemerdekaan pada tahun 1945. Pada masa-masa awal pemerintahan Indonesia setelah kemerdekaan, beberapa peraturan peninggalan dari masa kolonial Belanda masih diberlakukan, antara lain Bosordonantie tahun 1927 yang mengatur keseluruhan pengurusan hutan, dan ordonansi tahun 1931 yang mengatur satwa liar (Djajapertjunda, 2002). Semua peraturan tersebut menggambarkan sifat sentralistik pengurusan sumberdaya hutan di masa itu, di mana keputusan mengenai kehutanan di Pulau Jawa secara keseluruhan masih berada pada Pemerintah Pusat. Pada masa itu Pulau Jawa masih merupakan wilayah produksi pangan yang relatif cukup baik dan pertanian pangan menjadi bagian dari kehidupan rakyat, sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat tidak begitu tergantung pada sumberdaya hutan. Pada tahun 1957 pemerintah menegaskan bahwa kewenangan pengurusan sumberdaya hutan di luar Pulau Jawa berada pada Pemerintah Provinsi. Melalui Peraturan Pemerintah Provinsi untuk mengusulkan areal-areal tertentu sebagai kawasan hutan; di sisi lain
Pemerintah Pusat melalui instansi-instansinya di daerah terlibat dan memainkan peran yang penting dalam perumusan Tata Gunah Hutan Kesepakatan di tiap provinsi. Selain itu, Pemerintah Pusat melalui Direktorat Jenderal Kehutanan mengesahkan Tata Guna Hutan setiap provinsi, sehingga secara kritis banyak pihak mengatakan bahwa pengalokasian dan pencadangan kawasan hutan di daerah merupakan bagian dari sentralisasi urusan kehutanan
Sifat sentralistik urusan kehutanan ini menjadi semakin terlihat dari peran Pemerintah Pusat dalam memberikan Hak Pengusahaan Hutan pada kawasan hutan Produksi yang dialokasikan sekitar 60 juta hektar di seluruh Indonesia. Pada masa ini eksploitasi hutan ditingkatkan dalam rangka memacu perolehan devisa untuk mengatasi situasi ekonomi nasional yang sangat memprihatinkan. Pemerintah Pusat mengendalikan operasi ekploitasi hutan melalui berbagai peraturan dan perencanaan, sementara Pemerintah Daerah hanya mengendalikan kegiatan operasional lapangan. Dalam beberapa hal kondisi ini telah membantu perekonomian nasional dari sisi perolehan devisa dan pembangunan industri-industri dalam rangka transformasi ekonomi nasional menuju ke perekonomian industri. Namun demikian ekstraksi sumberdaya hutan yang terjadi pada waktu itu telah banyak merubah bentang alam yang semula berupa virgin forests menjadi secondary forests. Selain itu hak-hak masyarakat adat dan masyarakat setempat yang selama ini secara de facto diakui menjadi tersisih oleh adanya hak-hak pengusahaan yangsecara legal formal diperoleh melalui peraturan yang ada.
Hak-hak masyarakat atas tanah mulai diperbaiki dengan adanya Instruksi Menteri Dalam Negeri pada tahun 1972 kepada Camat seluruh Indonesia untuk memberikan Surat Keterangan Tanah (SKT) seluas 2 ha kepada Kepala Keluarga masyarakat yang telah lama
menempati tanah untuk pemukiman dan usaha pertaniannya. Melalui kebijakan ini dimaksudkan ada keberpihakan pemerintah kepada masyarakat untuk memperoleh hak yang selama ini belum mendapat pengakuan karena ketidak berdayaan mereka dalam mengurus hak. Namun demikian, kebijakan yang baik ini banyak dimanfaatkan oleh para pihak yang seharusnya tidak berhak, untuk menguasi tanah, sehingga pada tahun 1979. Menteri Dalam Negeri mencabut kebijakan ini untuk menghindari penguasaan tanah yang tidak semestinya, yang diperkirakan malah akan semakin merugikan masyarkat adat danmasyarakat setempat.


Reformasi 1998
Pengaruh negatif pemerintahan yang bersifat sentralistik terhadap sumberdaya alam dan masyarakat ternyata berlangsung bersamaan dengan kondisi politik yang semakin tidak kondusif dalam era Orde Baru yang berjalan selama 32 tahun, sehingga menimbulkan gerakan reformasi yang menjatuhkan rezim Orde Baru pada tahun 1998.
Gerakan reformasi ini diikuti dengan semangat desentralisasi seluruh urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, termasuk urusan kehutanan.
Hal ini ditandai dengan terbitnya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No.22/1999) dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom.
Dalam UU dan PP tersebut sebagian besar urusan kehutanan didesentralisasikan ke Pemerintah Daerah, di mana dalam hal ini pelaksanaan operasional urusan kehutanan telah banyak dilimpahkan ke Pemerintah Kabupaten.
Beberapa studi melaporkan bahwa meskipun desentralisasi kehutanan pada era ini dimaksudkan memutar kembali pendulum urusan kehutanan kearah Pemerintah Daerah (sentralisasi) yang diharapkan akan memperbaiki kondisi sumberdaya hutan dan masyarakat, namun pada kenyataanya masih mengandung banyak kelemahan sehingga belum memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini ditandai antara lain oleh tidak berjalannya komunikasi dan koordinasi yang baik antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah Beberapa pandangan menyatakan bahwa kelemahan ini terjadi karena Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 22/1999 tidak secara tegas mengatur hirarki dan hubungan keterkaitan antar tingkatan pemerintah; dan oleh karena itu maka otonomi daerah yang seharusnya dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip Negara kesatuan, pada kenyataannya telah dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip pemerintahan suatu negara federasi
Dengan persepsi seperti itu maka hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat selama masa itu, dapat dikatakan terbatas pada urusan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, agama, serta moneter dan fiskal yang yang mutlak menjadi urusan Pemerintah Pusat
Beberapa urusan kehutanan di tingkat pusat dan provinsi serta kabupaten/kota tidak berjalan secara harmonis, antara lain dalam penetapan kebijakan, serta pemberian ijin pemanfaatan hasil hutan, peredaran hasil hutan, pemberian ijin pertambangan di dalam kawasan, dan perubahan status dan fungsi kawasan hutan. Tumpang tindih penggunaan dan pemanfaatan sering terjadi di kawasan hutan dalam wilayah pemerintahan kabupaten, di mana ijin-ijin yang telah diatur oleh keputusan Pemerintah Pusat tertumpangi oleh ijin- ijin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten; dan sebaliknya, ijin-ijin yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat sering konflik dengan ijin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Demikian pula tumpang tindih antara kebijakan dan peraturan kehutanan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan Peraturan Daerah, atau sebaliknya, sangat sering terjadi dan masing-masing satu sama lain saling mengabaikan. Situasi yang kurang baik itu disebabkan di satu pihak oleh kurangnya informasi dan pemahaman Pemerintah Daerah tentang produk-produk hukum terkait dengan urusan kehutanan di wilayah itu, yang dalam UU Pemerintahan Daerah masih dihormati; di pihak lain, Pemerintah Pusat kurang menyadari kemungkinan terjadinya situasi tersebut sehingga tidak melakukan antisipasi yang tepat. Hal lain yang menyebabkan situasi tersebut adalah karena apresiasi sebagian besar Pemerintah Daerah terhadap hutan sebagai sistem penyangga kehidupan masih sangat kurang; hutan dipersepsikan semata-mata sebagai sumber keuangan daerah yang bersifat bisa memperbarui sendiri.
Dari situasi ini terjadi eksploitasi sumberdaya secara berlebihan serta konversi  kawasan hutan yang kurang terkendali untuk kepentingan mendesak jangka pendek. Hal lain, telah terbentuk persepsi tentang ketidak pastian usaha akibat tidak adanya kepastianhukum bagi pemegang hak, yang tidak dihormati oleh Pemerintah Daerah. Hal ini sangat terlihat dari banyaknya konflik-konflik yang timbul di antara ‘pengusaha lama’ dan‘pengusaha baru’ , konflik antara pengusaha dengan masyarakat, maupun antara masyarakat dan pengusaha di satu pihak dengan Pemerintah Daerah di pihak lain.
Adapun konflik kebijakan yang sangat menonjol terlihat pada fenomena pembangunan kota-kota baru untuk mendukung pemekaran wilayah pemerintah, yang tidak  memperhatikan keseimbangan ekosistem, lingkungan hidup, dan kelestarian sumberdaya alam hayati sehingga menimbulkan kerusakan kawasan hutan dan terancamnya keragaman hayati dan habitat. Situasi seperti itu berkembang selama periode 1999-2004 dan memunculkan pendapat dan penilaian umum bahwa proses desentralisasi telah ‘kebablasan’ atau berlebihan (excessive), dan untuk urusan kehutanan proses ini berlangsung sangat nyata
Hal lain yang menandai kurang memuaskannya proses desentralisasi di bidang kehutanan pada masa itu adalah tidak terlaksananya beberapa urusan yang seharusnya dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Sebagai contoh, berdasarkan kewenangan yang diatur pada masa itu, Pemerintah Provinsi seharusnya melaksanakan pengelolaan Hutan Lindung disamping mengelola Hutan Produksi, sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota antara lain berkewajiban untuk melakukan penataan batas kawasan Hutan Produksi dan  Hutan Lindung di wilayahnya; namun pada kenyataannya kewenangan tersebut tidak  dilaksanakan. Tidak terlaksananya pengelolaan Hutan Lindung menjadikan kawasan tersebut terlantar dan mengalami gangguan sehingga fungsinya sebagai pelindung system tanah dan air terganggu. Tidak dilaksanakan tugas penataan batas Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung mengakibatkan proses pengukuhan kawasan hutan menjadi sangat terlambat yang berakibat pada kurang mantapnya eksistensi kawasan hutan
Fenomena ini terjadi karena beberapa sebab yang satu sama lain saling terkait. Pertama, selama ini kemampuan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam menjalankan wewenangnya belum memadai, sementara itu dukungan teknis pemerintah pusat sangat kurang, sehingga secara teknis output pembangunan kehutanan yang terdesentralisasi dinilai lebih buruk dibanding masa-masa sebelumnya. Kedua, Pemerintah Pusat sangat terlambat dalam memberikan berbagai pedoman (norma, prosedur, standar dan kriteria) untuk pelaksanaan berbagai urusan di Provinsi dan Kabupaten/kota, yang selama ini dilaksanakan oleh Pusat, sehingga pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota cenderung melaksanakan pembangunan tanpa mempertimbangkan ekternalitas negative yang terjadi di luar wilayahnya. Ketiga, meskipun sudah ada Undang-Undang tentang perimbangankeuangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Pada kenyataannya, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota masih mengalami kesulitan dana untuk melaksanakan kewenangan-kewenangan tersebut; hal ini mengakibatkan beberapa kewenangan tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Keempat, ada kecenderungan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mengutamakan pelaksanaan wewenang yang secara langsung memberikan penerimaan dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD), ketimbang wewenang yang berkonsekuensi pada pengeluaran. Meskipun di beberapa kabupaten dampak positif desentralisasi terlihat dari pergerakan perekonomian (terutama di perkotaan), secara umum untuk bidang kehutanan mengalami dampak yang kurang baik, antara lain terlihat dari adanya kecenderungan eksploitasi hutan secara berlebihan, dan kecenderungan konversi kawasan yang kurang terkendali, sehingga meningkatkan laju deforestasi dan degradasi.
Fenomena lain yang juga dipandang tidak kalah memprihatinkan adalah munculnya berbagai kebijakan dan peraturan daerah, terutama di kabupaten, yang justru berlawanan dengan tujuan desentralisasi dalam meningkatkan pelayanan umum, termasuk pelayanan dan administrasi berbagai kegiatan pengusahaan hutan, dan pelayanan kepentingan masyarakat lainnya. Iklim usaha di bidang kehutanan mengalami hambatan baru dengan munculnya berbagai kebijakan tambahan dari daerah; sementara tujuan desentralisasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat belum memperlihatkan arah perbaikan. Sehingga secara umum berkembang pendapat bahwa kebijakan desentraliasi telah menimbulkan eforia pemerintahan daerah yang berlebihan dan tidak proporsional, serta ‘melenceng’ dari tujuan desentralisasi itu sendiri. Dengan situasi ini serta dengan memperhatikan dampak yang kurang baik dari situasi tersebut, maka muncul berbagai desakan untuk mengkoreksi dan menyempurnakan Undang-Undang Pemerintahan Daerah No.22/1999, dan Peraturan Pemerintah mengenai Pembagian Urusan Pemerintahan No. 25/2000.
Kebijakan Baru setelah 2004
Belajar dari pengalamam desentralisasi pemerintahan pada masa 1999-2004, maka Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat melakukan koreksi dan penyempurnaan atas Undang-Undang No. 25/1999 dan menerbitkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 32/2004 sebagai pengganti Undang-Undang sebelumnya. Dengan undang-undang yang baru ini diharapkan akan dicapai efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan negara dengan memperhatikan hubungan antar susunan pemerintah dan antar pemerintah daerah, serta potensi dan keanekaragaman masing-masing daerah, sekaligus dalam rangka menghadapi peluang dan tantangan persaingan global. Dengan undang-undang yang baru ini juga diharapkan agar kewenangan Pemerintah Daerah yang luas disertai hak dan kewajiban penyelenggaraan otonomi daerah, benar-benar dilaksanakan dalam suatu kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Secara prinsip Undang-Undang No.32/2004 sudah mengatur hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat, yang terkait dengan wewenang, keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya. Disamping itu, dalam Undang-Undang ini dinyatakan pula bahwa suatu Pemerintah Daerah juga mempunyai hubungan dengan Pemerintah Daerah Lainnya. Dari adanya pengaturan hubungan antar pemerintah tersebut maka terjadi hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan. Hal ini merupakan salah satu pokok penyempurnaan, karena pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang lama, pengaturan seperti ini tidak secara tegas dicantumkan dan oleh karena itu pelaksanaan desentralisasi di masa lalu mengakibatkan ketidak harmonisan pembangunan Pusat dan Daerah.
Menurut Undang-Undang ini, pembagian urusan pemerintahan harus didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi, dengan tetap memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat, serta hubungan di antara Pemerintah Daerah, maka pembagian wewenang atas suatu urusan pemerintahan harus mempertimbangkan: i) sampai di manakah eksternalitas pelaksanaan suatu urusan pemerintahan yang dilaksanakan di suatu wilayah pemerintahan akan terjadi, ii) di level pemerintahan yang manakah bobot tanggung jawab atas pelaksanaan suatu urusan pemerintahan selayaknya diletakkan, dan iii) di level pemerintahan yang manakah pelaksanaan kegiatan pemerintahan tersebut secara rasional dianggap efisien. Undang-undang ini secara lebih realistis juga menyatakan bahwa urusan pemerintahan yang bisa dilaksanakan bersama oleh Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, berdasarkan sifatnya dibedakan ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah urusan pemerintahan yang bersifat wajib untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan standar pelayanan minimal; dan kategori kedua adalah urusan yang bersifat pilihan, yang secara nyata ada di wilayah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Urusan kehutanan dalam hal ini merupakan urusan yang bersifat pilihan bagi Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Dengan adanya perubahan prinsip-prinsip pemerintahan daerah melalui Undang-Undang yang baru, maka pemerintah perlu menyempurnakan Peraturan Pemerintah yang mengatur pembagian wewenang seluruh urusan pemerintahan. Dengan berpegang pada pengalaman masa lalu maka penyempuranaan peraturan ini dilakukan dengan lebih cermat dan berhati-hati dengan melibatkan sebanyak mungkin para pihak yang terkait secara sektoral maupun teritorial sesuai prinsip tata kelola pemerintah yang baik (good governance). Setelah berproses selama tiga tahun maka pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, sebagai pengganti Peraturan Pemerintah No.25/2000 yang mengatur hal sama. Peraturan Pemerintah yang mulai berlaku sejak tanggal 9 Juli 2007 ini memberlakukan urusan-urusan Pemerintahan Pusat yang tidak dilaksanakan bersama oleh semua tingkatan pemerintahan sebagaimana dimaksud oleh Peraturan Pemerintah yang lama. Di luar urusan-urusan itu terdapat 31 urusan pemerintahan, di luar urusan pengelolaan kawasan konservasi, yang secara tegas dibagi kewenangan pelaksanaannya masing-masing di antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pemerintah Pusat bisa melaksanakan sendiri urusan pemerintahan yang menjadi  wewenangnya, atau melimpahkan kepada instansi vertikal atau Gubernur dalam rangka dekonsentrasi. Selain itu Pemerintah Pusat juga bisa menugaskan sebagian urusan yang menjadi wewenangnya kepada Pemerintah Daerah melalui tugas pembantuan. Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ini juga bisa dilakukan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah atau Pemerintah Desa untuk urusan-urusan pemerintahan yang dibagi dengan Pemerintah Daerah. Ketentuan yang sama, pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan juga bisa dilakukan oleh Pemerintah Provinsi ke Pemerintah Kabupaten/Kota atau Pemerintah Desa; dan Pemerintah Kabupaten/Kota bias mendekonsentrasikan dan memberikan tugas pembantuan urusan pemerintahannya ke Pemerintah Desa. Dalam kaitan ini juga, Pemerintah Pusat berwenang membina dan berkewajiban mendukung pelaksanaan urusan pemerintahan yang didesentralisasikan ke Pemerintah Daerah; dan bila setelah dibina ternyata Pemerintah Daerah dipandang masih belum mampu, maka untuk sementara penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Untuk itu, Pemerintah Pusat berkewajiban merumuskan norma, prosedur, standar dan kriteria untuk pelaksanaan urusan kehutanan yang menjadi wewenang pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Untuk sub urusan perencanaan hutan, Pemerintah berwenang melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat makro nasional, sedangkan Pemerintah Daerah berwenang untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat lokal dengan mengacu pada acuan nasional. Dengan memperhatikan pengalaman masa lalu yang terkait dengan kemampuan teknis Pemerintah Daerah dan anggaran yang ada, maka Pengukuhan hutan dan pembentukan wilayah pengelolaan sepenuhnya menjadi wewenang dan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat; Pemerintah Daerah hanya mempunyai kewenangan untuk mengusulkan dan memberi pertimbangan serta rekomendasi berdasarkan kondisi wilayahnya.
Demikian pula dengan kewenangan penyusunan rencana pengelolaan jangka panjang dan menengah kewenangannya berada pada Pemerintah Pusat, sedangkan Pemerintah Daerah hanya berwenang memberikan usulan, pertimbangan, dan rekomendasi. Khusus untuk penyusunan rencana pengelolaan jangka pendek atau tahunan kewenangan penetapan atas rencana ini berada di Pemerintah Provinsi, sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota hanya berwenang untuk memberikan usulan, pertimbangan, dan rekomendasi. Dalam hal pemberian ijin pemanfaatan hasil hutan dan pemanfaatan kawasan hutan, Pemerintah Daerah hanya berwenang memberikan pertimbangan teknis dan rekomendasi kepada Pemerintah Pusat yang selanjutnya akan mempertimbangkan untuk memberi atau menolak usulan ijin tersebut. Pengaturan pemberian ijin ini oleh banyak pihak dianggap sebagai gejala resentralisasi urusan kehutanan, namun Ekawati dan Santoso (2008) menyatakan bahwa aturan ini merupakan pembagian wewenang yang lebih proposional.
Dalam hal ini meskipun semua perijinan menjadi wewenang Pemerintah Pusat, namun tidak akan secara serta merta dapat terjadi bila tidak ada pertimbangan dan rekomendasi Pemerintah Daerah. Yang tidak kalah menarik, dan perlu mendapat perhatian dari Peraturan Pemerintah ini adalah dengan adanya wewenang baru bagi Pemerintah Kabupaten/kota untuk melakukan penelitian dan pengembangan kehutanan, sementara Pemerintah Provinsi tidak mempunyai kewenangan yang sama. Hal ini tentunya memerlukan kebijakan pelaksanaan yang mengatur mengenai tingkatan dan jenis penelitian di antara Pemerintah.
Pusat dan Pemerintah Kabupaten, serta memberikan peran yang tepat bagi Pemerintah Provinsi yang selama ini beberapa di antaranya sudah mempunyai lembaga penelitian, guna mendapatkan efisiensi urusan penelitian dan mencapai efektivitas yang dikehendaki.

Bagaimana ke depan ?
Desentralisasi urusan kehutanan ke Pemerintah Daerah akan berjalan dengan baik dan memenuhi harapan yang diinginkan bila ada semangat seluruh pihak untuk  memperbarui tata kelola hutan yang ada menjadi lebih efektif (good forest governance). Dalam kaitan itu perlu diterapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dengan memperbaiki sikap seluruh pihak baik pemerintah pusat dan daerah, kalangan pengusaha, maupun masyarakat, dalam:
ü  Mentaati norma dan peraturan yang telah disepakati
ü  Mengutamakan partisipasi dan transparansi
ü  Meningkatkan pertanggungan jawab
ü  Meningkatkan efisiensi dan efektifitas
ü  Konsisten dengan rencana strategis yang telah disepakati
CATATAN
¯  Tulisan ini dipersiapkan untuk International Seminar on “Ten Years Along: Decentralisation, land and NaturalResources in Indonesia, Atma Jaya University, Huma, Leiden University, and Radboud University. Jakarta 15-16 July 2008.
¯  Koordinator Dewan Pengurus Working Group on Forest Land Tenure
¯  Djajapertjunda S (2002) merinci perkembangan peraturan kehutanan dalam era kolonialisasi Belanda mulai dari terbitnya maklumat-maklumat yang mengatur tebangan, higga ke terbitnya peraturan yang lebih berbobot logika dan keilmuan pada jaman pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, yang tercantum pada Bosreglement 1865 hingga peraturan setara undang-undang pada Bosordonantie 1927.
¯  Pemerintah Provinsi dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah Swatantra Tingkat I (dulu sering disingkat menjadi DASWATI I) sebagaimana disebut pada Peraturan Pemerintah No. 64/1957 menyebutkan
¯  Pada masa itu urusan kehutanan ada pada Direktorat Jenderal Kehutanan, yang berada di bawah Departemen Pertanian
¯  Secara teknis pada saat itu instansi daerah kurang menguasasi data bio-fisik wilayah, sehingga instansi Direktorat Jenderal Kehutanan di daerah yaitu Balai Planologi Kehutanan merupakan motor dalam penyusunan konsep TGHK
¯  Masyarakat adat dalam pengertian ini adalah masyarakat yang anggotanya masih berada di tanah yang mereka tempati (di dalam hutan) sejak nenek moyangnya, dan mereka masih mentaati hukum adat yang berlaku di komunitasnya. Masyarkat setempat adalah masyarakat yang sudah tidak terikat dengan hokum adat, tapi masih menempati tanah (hutan) yang mereka warisi dari nenek moyangnya.
¯  Di antaranya dilaporkan oleh Barr dkk (2006) dalam Decentralization of Forest Administration in Indonesia: Implications for Forest Sustainability, Economic Development, and Community Libelihood, yang merangkum seluruh hasil penelitian CIFOR sejak akhir tahun 1990an, mencakup uraian mengenai pengurusan hutan sebelum era desentralisasi 1998, serta latar belakang terbitnya Paket Undang-Undang Desentralisasi (UU No. 22/199 dan 25/1999), serta implikasinya terhadap konsesi pengusahaan hutan, produksi kayu, hak-hak masyarakat (tenure) dan kesejahteraan mereka.
¯  Gregersen dkk (dalam Colfer,C.J.P., dkk., 2005) menyatakan bahwa di suatu negara federasi, negara–negara bagian atau provinsi tidak menerima pelimpahan wewenang urusan pemerintahan dari Pemeritah Federal; mereka secara historis merupakan negara-negara mandiri yang mengurus rumah tangganya sendiri, namun, kemudian bersepakat untuk berbagi beberapa wewenang ke Pemerintah Federal melalui konstitusi. Selanjutnya, dengan menyitir pendapat Oluwu (2001), Gregersen dkk menyatakan bahwa di negara federasi tidak dilakuka desentralisasi, namun digunakan prinsip constitutional non-centralization. Sebaliknya, pada suatu negara kesatuan, seperti Indonesia, pemerintah pusat mempunyai sub-sub pemerintahan (provinsi, dan kabupaten/kota) yang berada di level bawah sebagai sub-ordinasi, yang tidak mempunyai kewenangan mengambil keputusan untuk beberapa fungsi dan urusan pemerintahan utama.\
¯  Berdasarkan Undang-Undang No.22/1999, keempat urusan pemerintahan ini beserta urusan yang terkait dengan: i) perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, ii) sistem admnistrasi negara dan lembaga keuangan negara, iii) pemberdayaan sumberdaya manusia, iv) pendayagunaan sumberdaya alam serta teknologi tinggi strategis, v) konservasi, dan vi) standarisasi nasional, merupakan kewenangan Pemerintah Pusat yang tidak diesentralisasikan ke provinsi dan kabupaten/kota.
¯  Lihat: Sumardjani, L. (2007). Konflik Sosial Kehutanan: Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik. Working Group on Forest Land Tenure. Bogor.
¯  McCarthy dkk., (Barr, 2006) juga mengamati hal serupa, di mana beberapa aktor yang berada di pemerintahan, organisasi masyarakat madani, dan kalangan swasta mengeluhkan berbagai excesses desentralisasi, terutama di kabupaten, di mana pemerintah setempat mengeluarkan banyak peraturan dan kebijakan yang melebihi wewenangnya.
Peraturan Pemerintah No.25/2000 mengenai Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi
1.      Sebagian besar wilayah Indonesia dialokasikan Pemerintah sebagai kawasan Hutan, yang terdiri atas beberapa kawasan dengan fungsi-fungsi khusus, yaitu sebagai Hutan Lindung untuk perlindungan sistem tanah dan air, Hutan Suaka Alam untuk melindungi dan melestarikan keunikan fenomea alam alsi dan jenis-jenis flora dan fauna khas, serta Hutan Produksi untuk produksi hasil hutan .
2.      Pengukuhan kawasan hutan melalui penataan batas kawasan-kawasan yang telah dialokasikan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah, dan kemudian di Penunjukan Kawasan oleh Menteri Kehutanan. Kegiatan ini  dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian hukum, guna menghindari tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan.
3.      Undang-Undang No. 25/1999; lebih detail menegenai pelaksanaan Undang-undang ini di bidang kehutanan bisa dilihat dari makalah Resosudarmo, I.A.P., dkk., Fiscal Balancing and the Redistribution of Forest Revenues, dalam Barr, C., (2006) yang antara lain merinci hal-hal yang terkait dengan: i) Dana Perimbangan dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil dari Sumberdaya Alam, ii) Pendapatan Asli Daerah (PAD), iii) Pinjaman Daerah, dan iv) Sumber-sumber Penerimaan Sah Lainnya.
4.      Undang-Undang No. 22/1999 tidak menyatakan hubungan apa saja yang ada    diantara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Selain itu pada Undang-Undang ini dijelaskan bahwa antara Pemerintah Kabupaten tidak mempunyai hubungan hirarki dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya.
5.      Eka dan Santoso (2008) menyatakan bahwa adanya rincian pembagian wewenang akan mempertegas wewenang Pemerintah Kabupaten, yang selama ini kurang dinyatakan secara jelas; sebelumnya, Peraturan Pemerintah No.25/2000 hanya merinci pembagian wewenang urusan pemerintah antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi, sedangkan urusan lainnya( urusan sisa) menjadi wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota, dan ini sering menjadikan Pemerintah Kabupaten menjalankan berbagai macam urusan (berlebihan).
6.      Meski demikian, Bupati dan Wali Kota mempunyai peran yang sangat penting dalam penataan batas kawasan hutan, karena mereka menjadi Ketua Panitia Penataan Batas Kawasan Hutan, yang memimpin negosiasi seluruh pihak dalam menentukan batas kawasan hutan di lapangan. Tanpa adanya kesepakatan atas rencana batas kawasan, maka tidak akan terjadi penataan batas di lapangan; demikian pula bila Panitia yang dipimpin mereka tidak menyepakati hasil penataan batas, maka pengukuhan kawasan tersebut tidak dapat ditetapkan oleh Menteri Kehutanan.
­
RECORVERY PERIODE SUMBERDAYA HUTAN MASIH PANJANG

Sampai saat ini harapan dapat terwujudnya bentuk pengolahan hutan yang tepat dan stabil belum dapat diperoleh. Siapa pun Menteri Kehutanan yang menjabat apalagi setelah era reformasi 1998 ternyata tidak mampu memperbaiki kerusakan sumberdaya hutan dengan berbagai program kebijakan prioritasnya. Kecuali hutan Jawa yang dikelola oleh Perum Perhutani, sumberdaya hutan nasional tidak kunjung membaik. Deforestasi seluas 1,6 juta hektar per tahun (1985-1997) meningkat tajam di era reformasi menjadi 2,83 juta hektar pertahun (1998-2000), entah angkanya saat ini, yang diwaranai pula dengan asap dan kebakaran lahan dan hutan, antara lain seluas sekitar 9 juta hektar tahun 1997/1998. Lahan kosong di kawasan hutan hutan mencapai 31,952 juta hektar (24%) masih ditambah sekitar 17,283 juta hektar belum terdeteksi perlu direhabilitasi telah mencapai 59,2 juta hektar.
Seiring dengan memburuknya kondisi kawasan hutan tersebut, produksi kayu alam HPH semakin menipis pada titik rendah sekitar 5-6 juta meter kubik per tahun. Sedang keberhasilan hutan tanaman dari HPHTI masih sangat rendah baik laju perluasan tanaman maupun produksi kayunya. Sebaliknya praktek illegal logging yang meskipun terus diberantas melalui operasi represif tidak kenal menurun. Penyelundupan kayu ke luar negeri juga cenderung meningkat dengan trend yang tidak pernah mampu dikenali secara tepat.
Namun ada yang menggembirakan, devisa produk-produk kehutanan justru meningkat. Tercatat angka devisa sebesar US$ 4,873 milyar (2001), berturut-turut meningkat menjadi US $ 5,819 milyar (2002), US $ 6,318 milyar (2003), dan tahun 2004 sebesar US $ 7,726 milyar. Produk pulpa & kertas merupakan penopang laju peningkatan devisa tersebut. Devisa dari ekspor satwa dan hasil hutan non kayu tercatat meningkat dari tahun ke tahun bernilai puluhan juta dolar AS. Hanya, naiknya devisa khususnya dari produksi pulpa malahan di curigai sebagai bentuk ekploitasi hutan alam ilegal.
Pemerintah SBY-JK yang tersisa 2(dua) tahunan tidak dapat melakukan pembenahan pengelolaan sumberdaya hutan dan kehutanan tanpa melakukan perombakan besar menyangkut sistem politik penyelenggaraan pengelolaan hutan, institusi dan sumberdaya manusianya. Pengelolaan hutan dan kehutanan yang sarat dengan kompleksitas problem sosial, ekonomi, lingkungan dan kriminal juga memerlukan produk legal yang ditaati dan ditegakan dengan berani. Sedangkan penyelenggaraan politik  kenegaraan era otonomi daerah tetap dianggap menambah peningkatan kerusakan hutan yang tidak terkendali itu.
Pengelolaan hutan dan kehutanan yang sangat penting bagi kelestarian ekosistem, penyejahteraan sosial dan perolehan dana pembangunan di yakini memerlukan masa benah  (recorvery period) yang masih panjang, siapun menteri ataupun upaya program kehutanan yang dilakukan. Panjangnya masa transisi perbaikan pengelolaan hutan antara lain diindikasikan oleh:
                    (i).        Masih tetap lebarnya gap dan pertentangan kebijakan kehutanan Pusat dan Daerah dalam praktek pengelolaan hutan, termasuk dalam menyikapi adanya PP ataupun Peraturan Menteri Kehutanan yang masih seringkali diperdebatkan oleh daerah.\
                   (ii).       Hasil hutan kayu tetap merupakan andalan pendapatan bagi daerah-daerah yang memiliki sumberdaya hutan, dan terus diekspolitasi baik secara legal maupun secara illegal;
                  (iii).      lebarnya rentang koordinasi pusat-daerah yang tidak dilandasi rantai kewenangan hirarki;
                  (iv).      belum terfokusnya program kehutanan jangka panjang baik ditingkat pusat maupun daerah yang mengakar;
                   (v).       belum mantapnya organisasi dan personil kehutanan di puast dan didaerah dalam mencapai tujuan pengelolaan hutan yang baik;
                  (vi).       “ancaman” proses politik hasil Pemilu ataupun Pilkada yang tetap berpotensi akan merubah arah kebijakan pengelolaan kehutanan dan keselamatan sumberdata hutan;
                 (vii).     pengelolaan dan pembinaan sumberdaya manusia yang hanya dibatasi oleh lingkup kedaraerahan juga menyumbang semakin tidak terkendalinya pengelolaan kehutanan yang baik;
                (viii).    hutan juga semakin terancam rusak karena lemahnya penegakan hukum, termasuk anarkisme sosial yang masih sulit dikendalikan dilapangan; dan
                  (ix).      yang paling utama menyebabkan masih terbengkalainya pengurusan hutan adalah sistem penyelenggaraan kehutanan di daerah yang prakteknya hanya bersifat pengurusan, bukan dilakukan dengan sistem pemangkuan seperti layaknya yang harus dilakukan.
Sangat disayangkan, bahwa reformasi dan dipaksakanya praktek otonomi daerah di bidang pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan dengan terburu-buru ternyata memiliki peran besar terhadap merosotnya kualitas dan kuantitas sumberdaya hutan dan lingkungan. Pemberian desentralisasi kewenangan dan otonomi yang besar tanpa rambu-rambu yang dipatuhi telah menyebabkan dirusaknya sumberdaya hutan secara sadar, menggunakan payung legal, massal dan serentak dalam waktu yang sangat pendek.
 Pemerintah daerah sempat berlomba menerbitkan berbagai Perda dibidang Kehutanan, di saat pemerintah pusat kedodoran menyusun aturan-aturan untuk dipedomani di daerah. Keputusan Menteripun tidak mudah dilaksanakan oleh pemerintah daerah meski diantaranya juga memiliki rimbawan praktek yang selayaknya juga memahami masalah pelestarian hutan. Karenanya, masa benah pengelolaan hutan dan kehutanan Indonesia memerlukan keberanian untuk merombak sistem penyelenggaraan yang telah ada.
Lembaga legislatif dan pemerintah harus secepatnya menyusun ulang atau menyempurnakan aturan UU maupun PP dan Perda bagi pemberdayaan masing-masing jenjang institusi pemerintahan pusat-daerah yang saling megikat dan terikat dalam upaya pelestarian sumberdaya hutan dan lingkungan. Pengalaman terbitnya PP Nomor 34/2002 yang mengatur penataan pengelolaan hutan yang diharapkan menjadi  payung yang efektif menjembatani UU Nomor 22/99 dan PP Nomor 25/2000 dengan UU Kehutanan Nomor 41/99 ternyata menimbulkan kontroversi karena berbedanya penafsiran (Kompas, 20/11/2002) agar tidak terulangi.
Daerah Kabupaten/Kota keluarnya PP34/2002 dimaksudkan untuk re-sentralisasi pengelolaan hutan, tanpa menyadari makna bahwa sebenarnya memang diperlukan suatu pengendalian sentralistik terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Termasuk khususnya pendayagunaan sumberdaya hutan dan ekosistem lingkungan, bahkan pola pembinaan SDM Kehutanan, yang dilupakan oleh para penggagas percepatan otonomi daerah akibat tidak memahami esensi kesatuan suatu pengelolaan lingkungan.
Semangat pemerintah di era otonomi daerah yang cenderung primordial dan parsial khususnya menyangkut pengelolaan sumberdaya hutan dan lingkungan harus dibuang jauh-jauh apabila menghendaki hutan akan diperbaiki. Sistem pemangkuan hutan yang harus diterapkan di masing-masing kabupaten selayaknya dilakukan oleh masing-masing daerah meskipun bertahap. Dengan sistem pemangkuan kawasan hutan tersebut tidak akan ada lagi satu jenis pekerjaan kehutanan yang tidak tertangani. Tanggungjawab terhadap kawasan menjadi mutlak, dan tidak boleh lagi ada istilah “tanah tak bertuan” pada loaksi-lokasi yang ditinggalkan HPH/HPHTI. Masyarakat merupakan faktor kunci yang diyakini berperan besar dalam keberhasilan pengelolaan hutan. Lebih dari itu, perlu direnungkan kembali perlunya “re-sentralisasi” pengelolaan sumberdaya alam dan hutan dengan pengaturan tanggung jawab pusat-daerah yang adil namun tidak terpotong-potong secara parsial, serta institusi perencanaan terpadu berdasarkan pembagian wilayah daerah aliran sungai (DAS). Sekali lagi pengalaman Perum Perhutani mengelola hutan Jawa dengan pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang berjalan baik kiranya tidak berlebihan untuk disimak dan dicontoh sesuai kondisi faktual nasional dan masing-masing daerah.


















BAB V
                                               SUMBER DAYA ALAM        

A.      Pengertian Sumber Daya Alam
 Sumber daya alam adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih sejahtera yang ada di sekitar alam lingkungan hidup kita. Sumber daya alam bisa terdapat di mana saja seperti di dalam tanah, air, permukaan tanah, udara, dan lain sebagainya. Contoh dasar sumber daya alam seperti barang tambang, sinar matahari, tumbuhan, hewan dan banyak lagi lainnya. Sumber Daya Alam (biasa disingkat SDA) adalah segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Masa benah pengelolaan sumberdaya hutan dan kehutanan Indonesia meskipun diyakini memerlukan waktu panjang, tetap harus dilakukan mulai sekarang. Masalah pokok menyangkut sistem penyelenggaraan pengelolaan kehutanan yang bertumpu pada sistem pemangkuan kawasan hutan, serta dukungan perbaikan institusi, fotosintesis Mencegah terjadinya erosi, tanah longsor dan banjir Bahan industri, misalnya Jenis yaitu:
SDA dibagi menjadi dua, yaitu,SDA yang dapat diperbaharui dan SDA yang tidak dapat diperbaharui. SDA yang dapat diperbaharui meliputi air, tanah, tumbuhan dan hewan. SDA ini harus kita jaga kelestariannya agar tidak merusak keseimbangan ekosistem. SDA yang tidak dapat diperbaharui itu contohnya barang tambang yang ada di dalam perut bumi seperti minyak bumi, batu bara, timah dan nikel. Kita harus menggunakan SDA ini seefisien mungkin. Sebab, seperti batu bara, baru akan terbentuk kembali setelah jutaan tahun kemudian.SDA juga dapat dibagi menjadi dua yaitu SDA hayati' dan SDA non-hayati.
a.       SDA hayati adalah SDA yang berasal dari makhluk hidup. Seperti: hasil pertanian, perkebunan, pertambakan dan perikanan.
b.    SDA non-hayati adalah SDA yang berasal dari makhluk tak hidup (abiotik). Seperti: air, tanah, barang-barang tambang.
Pemanfaatan SDA: Tumbuhan Manfaat tumbuhan antara lain: Menghasilkan oksigen bagi manusia dan hewan Mengurangi polusi karena dapat menyerap karbondioksida yang dipakai tumbuhan untuk proses kelapa sawit bahan industri minyak goreng Bahan makanan, misalnya padi menjadi beras Bahan minuman, misalnya teh dan jahe
Persebaran sumber daya alam tidak selamanya melimpah. ada beberapa sumber daya alam yang terbatas jumlahnya. terkadang dalam proses pembentukannya membutuhkan jangka waktu yang relatif lama dan tidak dapat di tunggu oleh tiga atau empat generasi keturunan manusia.
Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang tersedia di alam dan dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Sumber daya alam dibagi menjadi dua, yaitu: sumber daya alam yang dapat diperbarui dan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui.

  1. Sumber daya alam yang dapat diperbarui
Ialah sumber daya alam yang dapat diusahakan kembali keberadaannya dan dapat dimanfaatkan secara terus-menerus, contohnya: air, udara, tanah, hutan, hewan dan tumbuhan.
a.    Air
Air merupakan kebutuhan utama seluruh makhluk hidup. Bagi manusia selain untuk minum, mandi dan mencuci, air bermanfaat juga:
                                      1.         sebagai sarana transportasi
                                      2.         sebagai sarana wisata/rekreasi
                                      3.         sebagai sarana irigasi/pengairan
                                      4.         sebagai PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air)
Cekungan di daratan yang digenangi air terjadi secara alami disebut danau, misalnya Danau Toba di Sumatera Utara. Sedangkan cekungan di daratan yang digenangi air terjadi karena buatan manusia disebut waduk, misalnya waduk Sermo di Kulon Progo dan Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri (Jateng).
b.     Udara
Udara yang bergerak dan berpindah tempat disebut angin. Lapisan udara yang menyelimuti bumi disebut atmosfer. Lapisan Ozon berfungsi untuk melindungi bumi dari sinar ultraviolet yang dipancarkan oleh matahari.


c.    Tanah
Tanah adalah lapisan kulit bumi bagian atas yang terbentuk dari pelapukan batuan dan bahan organik yang hancur oleh proses alamiah. Tanah banyak dimanfaatkan untuk menanam sumber daya alam pertanian. Pertanian meliputi tanaman untuk makanan pokok, seperti padi, jagung dan sagu. Palawija terdiri dari ubi-ubian dan kacang-kacangan; dan holtikultura yang meliputi berbagai jenis sayuran dan buah-buahan.
d.    Hewan
Hewan di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua, yaitu hewan liar dan hewan piaraan. Hewan liar ialah hewan yang hidup di alam bebas dan dapat mencari makan sendiri, misalnya dari jenis burung, ikan dan serangga. Hewan piaraan ialah hewan yang dipelihara untuk sekadar hobi atau kesenangan semata, misalnya burung perkutut, marmut, kucing dan kakaktua. Hewan ternak ialah hewan yang dikembangbiakkan untuk kemudian dimanfaatkan atau diperjualbelikan.
e.     Tumbuhan
·         Hutan
Hutan merupakan sebuah areal luas yang ditumbuhi beraneka ragam pepohonan. Dilihat dari jenis pohonnya, hutan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
                                                 i.            Hutan Homogen Ialah hutan yang ditumbuhi oleh satu jenisØyaitu: pohon/tanaman, misal: hutan jati, hutan pinus, hutan cemara dll.
                                               ii.            Hutan Heterogen Ialah hutan yang ditumbuhi oleh berbagai jenis pohon/tanaman.
Dilihat dari arealnya, hutan dapat dibagi menjadi:
a.       Hutan lindung ialah hutan yang berfungsi yaitu sebagai berikut:
                                     i.            Hutan produksi melindungi tanah dari erosi, banjir dan tanah longsor.  ialah hutan yang berfungsi untuk menghasilkan berbagai produk industri dan bahan perlengkapan masyarakat, seperti kayu lapis, mebel.
                                   ii.            Hutan wisata ialah hutan yang bangunan dan kerajinan tangan.  ditujukan khusus untuk menarik para wisatawan domestik (dalam negeri)  Hutan suaka alam ialah hutan yang maupun wisatawan mancanegara.  berfungsi memelihara dan melindungi flora (tumbuhan) dan fauna (hewan). 
b.      Hutan Mangrove ialah hutan bakau di tepi pantai yang berfungsi untuk menghindari daratan dari abrasi.
Hasil hutan yang dapat dimanfaatkan oleh kita yaitu: kayu (jati, pinus, cemara, cendana), damar, rotan, bambu dll. Erosi ialah pengkisan tanah yang disebabkan oleh air hujan. Reboisasi ialah penanaman/penghijauan kembali hutan yang telah gundul. Abrasi ialah penyempitan daratan akibat pengikisan tanah yang disebabkan oleh air laut. Korasi ialah pengikisan daratan yang disebabkan oleh angin.
1.        Pertanian
Pertanian di Indonesia menghasilkan berbagai macam tumbuhan, antara lain padi, jagung, kedelai, sayur-sayuran, cabai, bawang dan berbagai macam buah-buahan, seperti jeruk, apel, mangga, dan durian. Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduk Indonesia mempunyai pencaharian di bidang pertanian atau bercocok tanam.
2.        Perkebunan
Jenis tanaman perkebunan yang ada di Indonesia meliputi karet, cokelat, teh tembakau, kina, kelapa sawit, kapas, cengkih dan tebu. Berbagai jenis di antara tanaman tersebut merupakan tanaman ekspor (kegiatan mengirim barang ke luar negeri ) yang menghasilkan devisa (tabungan bagi negara ).
 Personil dan aspek legal harus dibenahi terlebih dahulu. Apabila tidak dilakukan, program apapun yang di tetapkan hanya membuahkan hasil yang tidak pernah memberikan makna sesungguhnya. Sumber daya hutan tetap akan meningkat kerusakanya.




  1. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui
Ialah sumber daya alam yang apabila digunakan secara terus-menerus akan habis. Biasanya sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui berasal dari barang tambang (minyak bumi dan batu bara) dan bahan galian (emas, perak, timah, besi, nikel dan lain-lain).
    1. Batu Bara
Batu bara berasal dari tumbuhan purba yang telah mati berjuta-juta tahun yang lalu. Batu bara banyak digunakan sebagai bahan bakar untuk keperluan industri dan rumah tangga.
    1. Minyak Bumi
Minyak bumi berasal dari hewan (plankton) dan jasad-jasad renik yang telah mati berjuta-juta tahun.
    1. Emas dan Perak
    2. Besi dan Timah
Besi berasal dari bahan yang bercampur dengan tanah, pasir dan sebagainya. Besi merupakan bahan endapan dan logam yang berwarna putih. Timah berasal dari bijih-bijih timah yang tersimpan di dalam bumi.
Manfaat dan Peta Persebaran Sumber Daya Alam.  Jenis Sumber Daya Alam Hasil Manfaat yaitu:
1. Barang Tambang
2. Minyak Bumi
Persebaran sumberdaya alam di Indonesia yaitu :
1.      Cepu, Blora dan Cilacap di Jawa Tengah.
2.      Sungai Gerong dan Plaju di Palembang.
3.      Dumai dan Sungai Pakning (Riau)
4.      Tanjung Pura, Langkat (Sumatera Utara)
5.      Tarakan, Balikpapan dan Kutai (Kalimantan Timur)
Fungsi Minyak Bumi:
1.      Avtur untuk bahan bakar pesawat terbang
2.      Bensin untuk bahan bakar kendaraan bermotor
3.      Kerosin untuk bahan baku lampu minyak
4.      Solar untuk bahan bakar kendaraan diesel
5.      LNG (Liquid Natural Gas) untuk bahan bakar kompor gas
6.      Oli ialah bahan untuk pelumas mesin
7.      Vaselin ialah salep untuk bahan obat
8.      Parafin untuk bahan pembuat lilin
9.      Aspal untuk bahan pembuat jalan






PEMBANGUNAN SDM DAN LINGKUNGAN HIDUP
AKIBAT KONDISI UMUM

Pembangunan sumber  daya alam (SDA) dan lingkungan hidup (LH) diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertimbangkan prinsip- prinsip keberlanjutan pembangunan nasional di masa mendatang. Terciptanya keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian SDA dan LH merupakanprasyarat penting bag i terlaksananya keberlanjutan pembangunan SDA dan LH tersebut.
Pemanfaatan SDA yang terkendali dan pengelolaan LH yang ramah lingkungan akan menjadi salah satu modal dasar yang sangat penting bagi pembangunan nasional secara keseluruhan. Selain itu, ketersediaan SDA juga mampu memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap pembangunan ekonomi. Pada tahun 2001, sumbangan sector sumber daya alam terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional adalah sekitar 30 persen dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 57 persen dari total penyerapan lapangan kerja nasional.
Namun akibat dari pemanfaatan SDA dan LH yang bersifat eksploitatif, keseimbangan dan kelestariannya mulai terganggu. Oleh karena itu, dalam rangka menjaga keseimbangan dan kelestariannya telah dilakukan berbagai langkah dan tindakan strategis menurut bidang pembangunan yang tercakup dalam pembangunan SDA dan LH. Dalam pembangunan kehutanan, pengelolaan hutan untuk pemanfaatan ekonomi yang berlebihan, walaupun telah dibarengi berbagai upaya rehabilitasi hutan dan lahan, selama ini telah mengakibatkan laju kerusakan/degradasi hutan yang sangat luas. Akumulasi degradasi sumberdaya hutan yang terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama telah menimbulkan dampak lingkungan, ekonomi dan sosial yang secara finansial kerugian yang timbul jauh melebihi manfaat yang telah diperoleh. Diperkirakan degradasi hutan alam Indonesia mencapai sekitar 1,6 – 2,1 juta ha per tahun selama 10 tahun terakhir. Untuk mengatasi berbagai permasalahan di atas, telah ditetapkan berbagai kebijakan prioritas pembangunan kehutanan, yang mencakup:
         1.         pemberantasan penebangan liar;
         2.         penanggulangan kebakaran hutan;
         3.         restrukturisasi sektor kehutanan;
         4.         rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan; serta
         5.         penguatan desentralisasi kehutanan.
Kebijakan prioritas tersebut dimaksudkan untuk mengurangi laju kerusakan sumberdaya hutan, mempercepat pemulihannya, dan memberikan peran dan tanggung jawab yang lebih besar kepada masyarakat dan pemerintah daerah. Namun, dalam pelaksanaannya, secara obyektif, kebijakan tersebut belum mampu memulihkan kondisi sumber daya hutan yang ada. Perkembangan permintaan pasar yang berdampak pada tidak sinkronnya kebijakan pengembangan industri pengolahan hasil hutan (sektor hilir) dengan kemampuan produksi bahan baku berupa kayu bulat (sektor hulu) menyebabkan terjadinya kesenjangan bahan baku yang diperkirakan mencapai sebesar 26,12 juta m3 per tahun. Hal ini antara lain yang menyebabkan maraknya penebangan ilegal yang terorganisir untuk “memenuhi” permintaan industri. Di sisi lain, produk jasa yang dapat dihasilkan dari ekosistem hutan (seperti air, keanekaragaman hayati, udara bersih, keindahan alam dan kapasitas asimilasi lingkungan) yang mempunyai manfaat besar sebagai penyangga kehidupan dan mampu mendukung sektor ekonomi lainnya belum berkembang seperti yang diharapkan.
Perkembangan di bidang IPTEK sampai saat ini juga belum sepenuhnya dapat berperan atau dimanfaatkan dalam pembangunan kehutanan. Selanjutnya,dalam rangka memberikan perlindungan atas pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, telah dilaksanakan berbagai kegiatan meliputi : identifikasi potensi sumber daya wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, serta konservasi melalui identifikasi kawasan konservasi laut daerah, pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang berbasis masyarakat, membudidayakan mangrove fisheries(silvo-fisheries), dan penataan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dalam rangka mengamankan potensi sumber daya laut dan menekan kerugian negara akibat pencurian ikan dan penangkapan ikan ilegal, telah dilakukan pembenahan sistem perijinan kapal ikan, khususnya kapal yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif  Indonesia (ZEEI). Selain itu, telah dikembangkan pula sistem VMS/MCS (vessel monitoring system/monitoring controlling and surveillance) untuk memantau kapal ikan yang beroperasi di perairan Indonesia. Penerapan sistem-sistem tersebut juga telah didukung dengan pengembangan sarana dan prasarana, serta operasional pengawasan yang berbasis masyarakat (SISWASMAS). Sementara itu, dalam rangka penyelesaian pengelolaan batas maritim antar negara, khususnya dengan Timor Leste, telah dilakukan pembahasan secara intensif dengan para pihak yang berwenang.
Sumber daya mineral dan pertambangan merupakan salah satu sektor yang  memberikan andil yang cukup besar dalam menyumbang perekonomian nasional.
Kontribusi minyak dan gas bumi terhadap penerimaan pemerintah pada tahun 2003, termasuk penerimaan pajak migas mencapai sebesar 22,9% dari total penerimaan.
Sehubungan dengan terus menurunnya kemampuan produksi minyak mentah, maka  dikhawatirkan sumbangan yang diberikan oleh migas juga mengalami penurunan.
Sementara itu, pembangunan pertambangan juga memiliki potensi untuk memberikan  kontribusi bagi kerusakan lingkungan. Sifat usaha pertambangan (terutama penambangan terbuka) adalah merubah bentang alam sehingga akan menyebabkan perubahan ekosistem dan habitat yang ada. Perubahan ini apabila terjadi dalam skala besar akan menyebabkan gangguan keseimbangan lingkungan yang berdampak buruk  bagi kehidupan manusia. Persoalan lain dibidang pertambangan adalah kerusakan lingkungan lokasi tambang karena tidak adanya penanganan terhadap lokasi tambang  yang sudah tidak terpakai. Selain itu meningkatnya kegiatan pertambangan tanpa ijin.
(PETI) juga memberikan permasalahan yang cukup rumit pada peningkatan lingkungan  maupun pada kelestarian produksi tambang. Kasus longsornya tambang yang  menyebabkan korban jiwa pada pertambangan emas di beberapa lokasi adalah akibat praktek pertambangan liar yang masih sulit dikendalikan. Dalam pengelolaan lingkungan hidup, kondisi pada saat ini menunjukkan terjadi  penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan yang signifikan. Kasus pencemaran  lingkungan cenderung meningkat. Tingkat kualitas udara di berbagai kota besar di Indonesia telah menunjukkan tingkat yang mencemaskan.
Kemajuan transportasi dan industri yang tidak diiringi dengan penerapan  teknologi bersih memberikan dampak negatif yang besar terutama bagi lingkungan  perkotaan. Tingkat pencemaran air pada berbagai badan air baik air permukaan maupun  air tanah juga menunjukkan tingkat yang mengkhawatirkan, yang dapat mengancam pemenuhan kebutuhan air bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat. Sungai-sungai di perkotaan semakin kehilangan fungsi ekologisnya karena tercemar limbah industri  dan rumah tangga. Demikian juga dengan kondisi tanah yang semakin tercemar oleh  bahan kimia yang berasal dari sampah padat dan pupuk kimia. Hilangnya berbagai  spesies kenekaragaman hayati juga menjadi salah satu cerminan degradasi daya dukung lingkungan.
Penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan juga dipengaruhi oleh kerusakan  lingkungan global. Salah satu fenomena perubahan iklim adalah gejala pemanasan  global (global warming) yang terjadi akibat bertambahnya jumlah gas buangan di atmosfir yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, industri, dan transportasi. Pencemaran  lintas batas negara seperti polusi asap akibat kebakaran hutan, pencemaran merkuri dan  minyak di laut yang sering terjadi perlu diperhatikan demi menjaga kualitas lingkungan global. Sementara itu, komitmen pendanaan global melalui perjanjian internasional,  misalnya Kyoto Protocol (pemanasan global) dan Montreal Protocol (perlindungan  ozon), belum dapat dijalankan sepenuhnya walaupun Indonesia telah meratifikasi Kyoto  Protocol pada bulan Juli 2004. Selain itu, era globalisasi mengakibatkan semakin ketatnya persaingan produk-produk yang berbasis sumber daya alam. Persaingan tersebut dipengaruhi beberapa isu utama, antara lain isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14000), dan isu property rights. Kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup di atas dihadapkan pada berbagai  permasalahan. Permasalahan yang dihadapi bidang SDA berbeda dengan bidang LH, walaupun keduanya saling terkait.
Permasalahan pokok di bidang SDA adalah pemanfaatan dan pengelolaan, sedangkan di bidang LH adalah perlindungan dan pelestarian fungsi. Permasalahan yang dihadapi SDA dan LH meliputi aspek  pemanfaatan SDA yang eksploitatif, boros dan tidak adil; aspek pelestarian fungsi LH yang tidak menjamin berfungsinya lingkungan dan makin menurunnya daya dukung  lingkungan; dan aspek pengelolaan SDA dan LH yang mencakup peraturan, kelembagaan, penegakan hukum, penataan ruang, teknologi, data dan informasi. Aspek-aspek tersebut mendorong terjadinya kerusakan SDA dan LH yang semakin serius. Pengelolaan hutan belum berjalan sebagaimana mestinya akibat kesadaran akan  pentingnya prinsip kelestarian yang belum membudaya, dan orientasi pada keuntungan jangka pendek sehingga telah menyebabkan timbulnya degradasi sumber daya hutan  pada tingkat yang mengkhawatirkan serta menurunnya kualitas lingkungan. Selain itu,  kebakaran hutan merupakan masalah besar yang secara signifikan mengancam pula kelestarian sumber daya sementara penanganannya belum berjalan dengan baik.  Dalam bidang pembangunan kelautan dan perikanan, masalah-masalah yang dihadapi antara lain meliputi: masih banyaknya praktek illegal, unregulated, and unreported fishing sebagai dampak dari law enforcement di laut yang masih lemah;
Pencemaran dan konflik tata ruang di wilayah laut dan pesisir; terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun (seagrass beds) yang merupakan habitat ikan dan organisme laut lainnya; belum berkembangnya teknologi industri bioteknologi kelautan; terjadinya praktek penambangan pasir laut yang tidak ramah lingkungan dan ilegal sehingga mempengaruhi produktivitas nelayan serta merusak ekosistem pesisir secara keseluruhan. Selanjutnya, dalam pembangunan bidang pertambangan dan sumber daya mineral, beberapa masalah yang dihadapi antara lain: kurangnya penguasaan teknologi ramah lingkungan dan sumberdaya manusia di bidang pertambangan yang memadai; banyaknya tumpang tindih areal pertambangan dengan kawasan lindung; dan kurang patuhnya para pengelola tambang terbuka dalam kegiatan rehabilitasi bekas kawasan pertambangan. Sementara itu, inventarisasi potensi dan kondisi SDA dan kualitas LH yang ada belum berjalan secara optimal dan belum terkoordinasi dengan baik.
Penerapan tata kelola yang baik (good governance) melalui pelaksanaan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif dalam pengelolaan SDA dan LH masih belum berjalan sebagaimana mestinya. Upaya penegakan hukum untuk melindungi SDA dan LH masih rendah. Tumpang tindih peraturan yang diakibatkan oleh rendahnya koordinasi antar sektor yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan kualitas aparat penegak hukum dalam bidang lingkungan belum optimal, baik dari segi jumlah maupun kualitas sumber daya manusia. Di samping itu, kondisi SDA dan LH tersebut juga dipengaruhi oleh pertambahan penduduk yang pesat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi dengan penerapan yang tidak ramah lingkungan, dan kurangnya etika dan perilaku yang berpihak pada kepentingan pelestarian lingkungan. Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan lingkungan hidup, dan lemahnya penegakan hukum dibidang lingkungan hidup memicu kerusakan lingkungan hidup yang makin parah.













SASARAN
Secara umum, sasaran yang ingin dicapai dalam pembangunan sumber daya alamdan lingkungan hidup adalah:
         1.         Terpulihkannya kondisi SDA dan LH yang rusak;
         2.         Mencegah terjadinya kerusakan SDA dan LH yang lebih parah, sehingga laju kerusakan dan pencemaran semakin menurun;
         3.         Mempertahankan SDA dan LH yang masih dalam kondisi baik;
         4.         Meningkatnya kualitas lingkungan hidup yang ditandai dengan meningkatnya kualitas udara ambien dan membaiknya kualitas air pada badan-badan air;
Sasaran tersebut ditempuh melalui perbaikan dan pengendalian faktor-faktor yang memicu terjadinya kerusakan, antara lain: peraturan perundangan, kelembagaan, iptek, penegakan hukum, data dan informasi.
Sementara itu, secara khusus, sasaran yang ingin dicapai dalam bidang kehutanan adalah:
1.      Terselesaikannya kepastian hukum atas status kawasan hutan;
2.      Terwujudnya penegakan hukum dalam kasus pemberantasan penebangan liar;
3.      Terselenggaranya kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan;
4.      Terkelolanya kawasan konservasi secara terpadu;
5.      Tersedianya informasi bagi pemanfaatan hasil hutan non-kayu;
6.      Terwujudnya peran serta masyarakat dan perlindungan hak-hak masyarakat dalampengelolaan hutan;
7.      Terwujudnya pola-pola kemitraan dalam pengelolaan hutan dan terwujudnya upaya penegakan hukum sektor kehutanan.
Sasaran yang akan dicapai dalam perbaikan kondisi sumber daya kelautan dan perikanan meliputi:
1.      Menurunnya tingkat pelanggaran pemanfaatan dan perusakan sumber daya kelautan dan perikanan;
2.      Meningkatnya pengelolaan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil secara terpadu, serta pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang, mangrove, padang lamun dan biota laut lainnya;
3.      Dihasilkannya jenis teknologi kelautan dan perikanan yang tepat guna dan ramah lingkungan;
4.      Tersedianya data dan informasi kelautan dan perikanan yang “realible dan up to date”;
5.      Terselesaikannya beberapa peraturan perundangan di bidang kelautan dan perikanan.
Sasaran yang ingin dicapai dalam pembangunan pertambangan adalah upaya inovatif untuk mengatasi penurunan produksi, meningkatkan cadangan, serta menjaga kelestarian lingkungan yang mencakup:
1.      Meningkatnya kegiatan eksplorasi untuk mengetahui cadangan sumber daya mineral, minyak dan gas bumi;
2.      Meningkatnya peluang usaha pertambangan kecil di wilayah terpencil;
3.      Meningkatnya diversifikasi produk pertambangan dengan penerapan good mining practices;
4.      Meningkatnya rehabilitasi kawasan bekas pertambangan terbuka.
Selanjutnya, sasaran lain yang hendak dicapai dalam pengelolaan SDA dan LH adalah :
1.      Meningkatnya kapasitas dan kelembagaan dalam mengelola SDA dan LH;
2.      Meningkatnya penataan dan penegakan hukum dalam rangka melindungi dan merehabilitasi SDA;
3.      Berkembangnya pemberdayaan dan perluasan partisipasi masyarakat madani dalam pengelolaan SDA dan LH; dan
4.      Terinventarisasi dan terevaluasinya sumber daya alam dan lingkungan hidup.











ARAH KEBIJAKAN
Arah kebijakan yang ditempuh dalam pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah:
1.      Memanfaatkan SDA, termasuk jasa-jasa lingkungannya, secara efisien dan optimal dalam mendukung perekonomian nasional, dan sekaligus mendorong perubahan pola produksi dan konsumsi yang mengarah pada penerapan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan;
2.      Melindungi fungsi lingkungan hidup agar kualitas dan daya dukungnya tetap terjaga, sekaligus menjamin tersedianya ruang yang memadai bagi kehidupan masyarakat;
3.      Mengembangkan sistem pengelolaan SDA dan LH yang mantap yang disertai dengan penguatan kelembagaan, pengembangan teknologi yang ramah lingkungan dan pengembangan instrumen pendukung lainnya dalam pemanfaatan SDA dan perlindungan lingkungan hidup, yang berdasarkan pada prinsip tata kelola yang baik, termasuk dalam penegakan hukum, pengakuan hak azasi masyarakat adat dan lokal, dan perluasan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan;
5.      Mengendalikan pencemaran lingkungan hidup untuk mencegah perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup baik di darat, perairan air tawar dan laut, maupun udara sehingga masyarakat memperoleh kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
6.      Meningkatkan kualitas dan akses informasi SDA dan LH dalam mendukung perencanaan pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan hidup;
7.      Meningkatkan peran aktif Indonesia dalam perlindungan lingkungan global.
Secara khusus, arah kebijakan pembangunan kehutanan ke depan adalah mewujudkan:
1.      Pengelolaan sektor kehutanan secara terpadu;
2.      Memelihara potensi kekayaan hutan yang ada agar tetap dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dengan melakukan konservasi sumber daya hutan;
3.      Penanggulangan kebakaran dan pemberantasan penebangan liar serta upaya penegakan hukumnya;
4.      Mempercepat upaya rehabilitasi kawasan hutan yang sudah terdegradasi;
5.      Melakukan desentralisasi kewenangan pengurusan kehutanan sehingga tercapai pengelolaan yang bersifat partisipatif dan melibatkan seluruh pihak.
Sementara itu, arah kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan pada tahun 2005 mencakup:
1.      Memelihara keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan serta ekosistem pesisir, lautan, perairan tawar dan pulau-pulau kecil;
2.      Memperkuat pengawasan dan pengendalian dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan
Sedangkan arah kebijakan pembangunan sumber daya mineral mencakup:
1.      Meningkatkan efektifitas pengelolaan sumber daya mineral serta melakukan konservasi dan rehabilitasi;
2.      Mengusahakan pencegahan dan pengendalian kerusakan lingkungan hidup melalui penataan kelembagaan, penegakan hukum di bidang sumber daya mineral



PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN
1.      PROGRAM PERLINDUNGAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM
Program ini ditujukan untuk melindungi sumber daya alam dari kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas pengelolaan yang kurang memperhatikan dampak negatif terhadap potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta menyelenggarakan pengelolaan kawasan konservasi untuk menjamin keragaman ekosistem, sehingga terjaga fungsinya sebagai penyangga sistem kehidupan.
Sasaran yang hendak dicapai dalam program ini adalah terlindunginya kawasan konservasi dan kawasan lindung dari kerusakan akibat pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif.
Kegiatan pokok yang akan dilaksanakan antara lain meliputi:
1.      Pengkajian kembali kebijakan perlindungan dan konservasi SDA
2.      Perlindungan sumber daya alam dari kegiatan pemanfaatan yang tidak terkendali dan eksploitatif terutama kawasan konservasi dan kawasan lain yang rentan terhadap kerusakan;
3.      Pengelolaan dan perlindungan keanekaragaman hayati dari kepunahan, termasuk spesies-spesies pertanian dan biota-biota laut;
4.      Pengembangan sistem insentif dalam konservasi sumber daya alam;
5.      Penyusunan mekanisme pendanaan bagi kegiatan perlindungan SDA
6.      Inventarisasi hak adat dan ulayat dan pengembangan masyarakat setempat;
7.      Peningkatan partisipasi masyarakat dan pengembangan kerja sama kemitraan dalam perlindungan dan pelestarian alam;
8.      Pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan di kawasan-kawasan konservasi darat dan laut;
9.      Perlindungan dan pengamanan hutan;
10.  Penanggulangan dan pengendalian kebakaran hutan;
11.  Peningkatan penegakan hukum terpadu dan percepatan penyelesaian kasus pelanggaran/kejahatan kehutanan;
12.  Pemantapan pengelolaan kawasan konservasi dan hutan lindung;
13.  Penguatan sarana dan prasarana pengelolaan kawasan konservasi;
14.  Pembentukan dan peningkatan kapasitas kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi dan kawasan lindung;
15.  Pengembangan kawasan konservasi laut dan suaka perikanan;
16.  Pengembangan budidaya perikanan berwawasan lingkungan;
17.  Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangan bidang konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup;
18.  Evaluasi lingkungan dan kawasan konservasi alam geologi untuk pelestarian lingkungan hidup;
19.  Konservasi geologi dan sumber daya mineral;
20.  Penanggulangan pangan. konversi lahan pertanian produktif dalam rangka peningkatan ketahanan

2.      PROGRAM REHABILITASI DAN PEMULIHAN CADANGAN SUMBER DAYA ALAM
Program ini bertujuan untuk merehabilitasi sumber daya alam yang rusak dan mempercepat pemulihan cadangan sumber daya alam sehingga selain dapat menjalankan fungsinya sebagai penyangga sistem kehidupan, juga dapat menjadi potensi bagi pengelolaan yang berkelanjutan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah terehabilitasinya sumber daya alam yang mengalami kerusakan akibat pemanfaatan yang tidak terkendali dan eksploitatif, dan terwujudnya pemulihan kondisi sumber daya hutan, lahan, laut dan pesisir, perairan tawar serta sumber daya mineral agar berfungsi optimal sebagai fungsi produksi dan fungsi penyeimbang lingkungan.
Kegiatan pokok yang akan dilaksanakan antara lain meliputi:
1.      Perencanaan dan evaluasi pengelolaan Daerah Aliran Sungai;
2.      Pembinaan dan pengembangan pembibitan;
3.      Reboisasi dan penghijauan;
4.      Pembangunan hutan tanaman industri (HTI), kawasan konservasi dan lindung;
5.      Rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut (mangrove, terumbu karang, dan padang lamun), pengembangan sistem manajemen pengelolaan pesisir & laut;
6.      Rehabilitasi kawasan perairan tawar seperti waduk, situ, dan danau;
7.      Pengkayaan (restocking) sumber daya perikanan dan biota air lainnya;
8.      Rehabilitasi areal bekas pertambangan terbuka.
3.      PROGRAM PENGEMBANGAN KAPASITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
Program ini ditujukan untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui tata kelola yang baik yang berdasarkan pada prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.
Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah meningkatnya kapasitas pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup seningga sumber daya alam yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal, adil dan berkelanjutan yang ditopang dengan kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Kegiatan pokok yang akan dilaksanakan antara lain meliputi:
1.      Pengkajian dan analisa instrumen yang mendukung pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan dan perlindungan lingkungan hidup, seperti peraturan perundangan dan kebijakan termasuk penegakan hukumnya;
2.      Pengembangan dan peningkatan kapasitas institusi dan aparatur penegak hukum dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
3.      Penguatan kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, baik di tingkat pusat, daerah maupun masyarakat lokal dan adat;
4.      Pengembangan peran serta masyarakat (warga madani) dan pola kemitraan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
5.      Pengembangan tata nilai sosial yang berwawasan lingkungan;
6.      Pengembangan sistem pengendalian dan pengawasan sumber daya alam (hutan, air, tanah, pesisir, laut, tambang, dan mineral), termasuk sistem pengawasan oleh masyarakat;
7.      Pengembangan sistem pendanaan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
8.      Penetapan standar pelayanan minimal bidang lingkungan;
9.      Penyiapan dan pendirian pusat produksi bersih lingkungan;
10.  Pengembangan dan peningkatan penataan dan penegakan hukum lingkungan;
11.  Pengembangan pelaksanaan perjanjian internasional yang telah disepakati.


4.      PROGRAM PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP
Program ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dalam upaya mencegah perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup baik di darat, perairan tawar dan laut, maupun udara sehingga masyarakat memperoleh kualitas lingkungan hidup yang baik.
Sasaran yang hendak dicapai dalam program ini adalah menurunnya tingkat pencemaran lingkungan dan terciptanya lingkungan yang bersih dan sehat.
Kegiatan pokok yang akan dilaksanakan antara lain meliputi:
1.      Penyusunan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mendukung pengendalian pencemaran;
2.      Penetapan indeks dan baku mutu lingkungan dan baku mutu limbah;
3.      Pengembangan teknologi yang berwawasan lingkungan, termasuk teknologi tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan limbah, dan teknologi industri yang ramah lingkungan;
4.      Pengintegrasian biaya-biaya lingkungan ke dalam biaya produksi;
5.      Pemantauan yang kontinyu, serta pengawasan dan evaluasi baku mutu lingkungan;
6.      Pengendalian pencemaran kualitas udara dari sumber bergerak dan sumber tidak bergerak;
7.      Pengendalian pencemaran kualitas air;
8.      Inventarisasi dan pengendalian pencemaran dari bahan-bahan perusak ozon (ozon depleting substances);
9.      Perumusan kebijakan untuk mengadaptasi perubahan iklim;
10.  Inventarisasi dan persiapan kegiatan melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism);
11.  Pengendalian Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dari sumber-sumber industri dan rumah sakit;
12.  Pengendalian pencemaran industri, pertambangan dan pertanian melalui berbagai mekanisme insentif dan disintesif kepada para pelaku;
13.  Pengembangan sistem penilaian kinerja lingkungan industri;
14.  Penanganan sampah perkotaan dengan konsep 3R (reduce, reuse dan recycle);
15.  Peningkatan penyuluhan dan interpretasi lingkungan kepada masyarakat menuju budaya produksi dan konsumsi yang berkelanjutan.
16.  Peningkatan kinerja AMDAL


5.      PENINGKATAN KUALITAS DAN AKSES INFORMASI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan akses informasi sumber daya  alam dan lingkungan hidup dalam rangka mendukung pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan fungsi lingkungan hidup.
Sasaran yang ingin dicapai dalam program ini adalah tersedianya data dan informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lengkap, akurat, dan mudah diakses oleh semua pemangku kepentingan dan masyarakat luas.
Kegiatan pokok yang akan dilaksanakan antara lain meliputi:
1.      Penyusunan data dasar sumber daya alam baik data potensi maupun data daya dukung kawasan ekosistem, termasuk pulau-pulau kecil;
2.      Penyusunan statistik bidang lingkungan hidup baik di tingkat nasional maupun daerah;
3.      Pengembangan sistem jaringan laboratorium nasional bidang lingkungan;
4.      Pengembangan sistem deteksi dini terhadap kemungkinan bencana lingkungan;
5.      Pengembangan sistem inventarisasi dan informasi SDA dan LH;
6.      Inventarisasi dan pemantauan kualitas udara perkotaan dan sumber-sumber air;
7.      Inventarisasi sumber daya mineral melalui penyelidikan geologi, survei eksplorasi, dan kegiatan pemetaan;
8.      Pengembangan valuasi sumber daya alam (hutan, air, pesisir, dan mineral);
9.      Penyusunan dan penerapan Produk Domestik Bruto (PDB) hijau;
10.  Penyusunan Neraca Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup yang antara lain mencakup neraca sumber daya hutan, mineral, dan energi;
11.  Pendataan dan penyelesaian batas kawasan sumber daya alam, termasuk kawasan hutan dan kawasan perbatasan dengan negara lain;
12.  Penyusunan indikator keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup;
13.  Peningkatan akses informasi kepada masyarakat.














Flora & Fauna Identitas Indonesia

Indonesia merupakan negara yang memiliki sumberdaya alam hayati yang tinggi dan tersebar di seluruh pelosok tanah air. Kekayaan sumberdaya alam hayati menjadi tumpuan baru bagi pembangunan nasional selain penggunaan sumberdaya alam takterbarukan seperti minyak bumi dan gas alam.
Kemajuan pembangunan nasional terus berlanjut menuju era industrialisasi, sementara itu pemantauan mutu lingkungan memerlukan perhatian khusus sebagai dampak dari sisi lain pembangunan nasional, meskipun Indonesia telah menganut azas pemanfaatan secara lestari namun kerusakan lingkungan akibat pembangunan tidak dapat dihindarkan.
Upaya pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam hayati tidak dapat terlepas dari UUD 1945, khususnya Pasal 33 Ayat (3) yang berbunyi "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat". Pengertian dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak berarti pemanfaatannya dilakukan dengan semena-mena namun juga harus memperhatikan aspek-aspek keserasian, keselarasan, keseimbangan, keadilan yang merata dan berkelanjutan, baik bagi generasi masa kini maupun yang akan datang.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk tetap menjaga keutuhan dan keberlanjutan dari sumberdaya alam hayati yang dapat terperbarukan sebagai tumpuan pembangunan saat ini, sehingga daya dukung lingkungan tetap seimbang. Ditetapkannya Undang-undang No.4 Tahun 1982 mengenai Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang­undang No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam. Hayati dan Ekosistemnya serta Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragam Hayati), mencerminkan bahwa Pemerintah tidak mengabaikan keberadaan lingkungan yang tetap utuh dan seimbang sehingga tidak mengkhawatirkan bagi generasi penerusnya.
Sumberdaya alam hayati yang meliputi keanekaragaman flora dan fauna mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup yang kehadirannya tidak dapat diganti. Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan memiliki kedudukan serta berperan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumberdaya alam hayati flora dan fauna menjadi kewajiban mutlak bagi setiap generasi.
Upaya-upaya konservasi tidak akan mendapatkan hasil seperti yang diharapkan tanpa dukungan dan peran serta aktif dari segenap lapisan masyarakat. Oleh karena itu salah satu upaya yang dianggap strategis dan efektif oleh Pemerintah adalah dengan menetapkan berbagai macam kekayaan sumberdaya alam hayati tersebut ke dalam bentuk Identitas Flora dan Fauna Daerah. Penetapan Identitas Flora dan Fauna Daerah merupakan upaya nyata yang dilakukan sebagai tindak lanjut dari Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional. Dengan ditetapkannya Flora dan Fauna Identitas Daerah Tingkat I ini dapat dilanjutkan pula dengan pemilihan Flora dan Fauna di Tingkat II, Kecamatan dan Desa. Diharapkan dengan demikian akan dapat mendorong upaya-upaya perlindungan, pengawetan, serta pemanfaatan secara berkelanjutan sumberdaya alam hayati flora dan fauna baik oleh aparat Pemerintah di Daerah maupun masyarakat secara keseluruhan sampai dengan ke Tingkat II bahkan Kecamatan dan Pedesaan















SUMBER DAYA ALAM INDONESIA

Sumber daya alam di Indonesia adalah segala potensi alam yang dapat dikembangkan untuk proses produksi. Sumber daya alam ialah semua kekayaan alam baik berupa benda mati maupun benda hidup yang berada di bumi dan dapat dimanfaatkan untukmemenuhi kebutuhan manusia.
Proses terbentuknya sumber daya alam di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :
  1. Secara astronomis, Indonesia terletak di daerah tropik dengan    curah hujan tinggi menyebabkan aneka ragam jenis tumbuhan dapat tumbuh subur. Oleh karena itu Indonesia kaya akan berbagai jenis tumbuhan.\
  2. Secara geologis, Indonesia terletak pada pertemuan jalur pergerakan lempeng tektonik dan pegunungan muda menyebabkan terbentuknya berbagai macam sumber daya mineral yang potensial untuk dimanfaatkan.
  3. Wilayah lautan di Indonesia mengandung berbagai macam sumber daya nabati, hewani, dan mineral antara lain ikan laut, rumput laut, mutiara serta tambang minyak bumi.
Pemanfaatan Sumber Daya Alam

 Sumber daya alam merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Sebagai modal dasar, sumber daya alam harus dimanfaatkan sepenuh-penuhnya tetapi dengan cara yang tidak merusak. Oleh karena itu, cara-cara yang dipergunakan harus dipilih yang dapat memelihara dan mengembangkan agar modal dasar tersebut makin besar manfaatnya untuk pembangunan dimasa datang. Persebaran Sumber Daya Alam Hayati teridiri dari sumber daya alam hewani dan nabati yang tersebar didarat dan laut selain hutan yang luas, Indonesia memiliki perkebunan dan pertanian tersebar hampir di seluruh Indonesia.
 Jumlah dan kualitas sumber daya alam sangat banyak dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia selain itu kualitasnya pun sangat bagus sehingga dapat diekspor di berbagai negara sehingga dapat memenuhi devisa negara.
Jenis sumber daya alam yang diekspor seperti minyak bumi, gas alam dan bahan tambang lainnya serta hasil pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan pariwisata selain itu hasil industri juga dapat diekspor keluar negeri.   
Tenaga ahli memanfaatkan sumber daya alam dengan teknologi yang canggih. Tenaga ahli yang bermutu akan menghasilkan bibit yang bermutu dan menghasilkan tanaman yang berkualitas dan menghasilkan industri yang berkualitas.
Tekhnologi  yang digunakan beserta alat-alatnya yang berkembang dengan pesat dapat mempercepat dan mempermudah produktivitas alat-alat yang digunakan tenaga ahli Indonesia masih kurang canggih seperti di negara-negara maju tetapi tenaga ahli Indonesia masih bisa menghasilkan sumber daya alam yang memuaskan.
Pencemaran
      Terjadi karena ulah manusia sendiri yang menyebabkan berubahnya keadaan alam karena adanya unsur-unsur baru atau meningkatnya sejumlah unsur baru sehingga menyebabkan berbagai jenis pencemaran seperti :
                     1.         Pencemaran udara : hasil limbah industri, limbah pertambangan, asap rokok, asap kendaraan bermotor karena mengeluarkan karbon monoksida, karbon dioksida, belerang dioksida yang menyebabkan udara tercemar dan susah bernafas.
                     2.         Pencemaran suara-suara dapat ditimbulkan dari bisingnya suara mobil, kereta api, pesawat udara dan jet.
                     3.         Pencemaran air dari pembuangan sisa-sisa industri secara sembarangan bisa mencemarkan sungai dan laut.
                     4.         Pencemaran tanah.
Pencemaran dapat dicegah dengan tidak membuang limbah sembarangan seperti pabrik-pabrik yang selalu membuang limbah, mengurangi kendaraan berasap dan mengurangi kebisingan yang ada dan banyak lagi yang lain.
Mengatasi pencemaran
a.      Dengan mengadakan penghijauan dan reboisasi, usaha penghijauan dan reboisasi hutan dapat mencegah rusaknya lingkungan yang berhubungan dengan air, tanah dan udara.
b.      Dengan membuat sengkedan pada lahan yang miring untuk mencegah erosi dan menjaga kesuburan tanah yang berbukit-bukit dan miring.
c.       Pengembangan daerah aliran sungai merupakan daerah peta terhadap kerusakan dan pencemaran karena sering terjadi pengikisan lapisan tanah oleh aliran sungai.

d.     Pengelolaan air limbah
-          dengan pengaturan lokasi industri agar jauh dari pemukiman penduduk
-          mencegah agar saluran air limbah jangan sampai bocor
-          industri yang menimbulkan air limbah, diwajibkan memasang peralatan pengendali pencemaran air.
e.      Penertiban pembuangan sampah dengan cara sebagai berikut :
-           Dibakar
-          untuk makan ternak
-          untuk biogas
-          untuk bahan pupuk
f.        Dengan mengadakan daur ulang terhadap bahan-bahan bekas dan sampah organik.
Macam-macam sumber daya alam:
1. Sumber daya tanah.
Tanah merupakan faktor penting bagi kehidupan manusia, karena akan mencukupi segala kebutuhan hidup dengan segala hasil yang hampir seluruhnya tersedia di dalam tanah. Namun pada umumnya setelah manusia menguasai sebidang tanah/lahan sering menelantarkan tanah, dan mengabaikan fungsi tanah, sehingga tanah menjadi rusak.
Penggunaan tanah secara optimal seharusnya disertai dengan usaha-usaha untuk memperbaiki daya dukung tanah. Mengingat betapa pentingnya tanah bagi kehidupan, maka perlu menyusun perencanaan kegiatan sektoral sebaik mungkin dengan mempertimbangkan  keterbatasan tanah yang tersedia.
2. Sumber daya air
Air merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang sangat penting. Pada umumnya air digunakan manusia untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, untuk pertanian (irigasi), untuk kepentingan industri, dan untuk pembangkit energi. Air termasuk sumber daya alam yang dapat diperbaharui, karena secara terus menerus dipulihkan melalui siklushidraulis yang belangsung secara alami. Namun jumlah keseluruhan air yqng dapat diperoleh di seluruh dunia adalah tetap, persediaan totalnya tidak dapat ditingkatkan atau dikurangi melalui upaya-upaya pengelolaan untuk mengubahnya. Persediaan total dapat diatur secara lokal dengan dibuatnya bendungan atau sarana lainnya.
Sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk terutama di negara-negara berkembang, kebutuhan air bersih untuk keperluan rumah tangga pun belum tercukupi. Hal ini disebabkan mutu air bertambah buruk karena adanya pencemaran air yang sebetulnya juga
disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri.
3. Sumber daya Hutan
Istilah hutan bukan hanya meliputi pepohonan, tetapi juga tanah, air, berbagai macam hewan, mikro organisme, dan tumbuh-tumbuhan yang lain. Hutan merupakan bagian integral dalam sistem kehidupan, berfungsi sebagai pengatur atmosfer, menghasilkan iklim yang sejuk, menyimpan cadangan karbon, mengatur siklus hidraulis setempat, melindungi tanah dari erosi, menguragi pengendapan tanah di sungai, dan mencegah bahaya banjir. Hutan tropis mempunyai efek membantu menggerakkan sistem peredaran umum atmosfer dan dapat mendistribusikan panas ke daerah beriklim sedang. Hutan di daerah cekungan dapat mengatur aliran air, membantu mempertahankan habitat untuk ikan yang bertelur sehingga menjadikan usaha perikanan menjadi berkelanjutan.
Hutan adalah ekosistem yang sangat beragam, menunjang kehidupan jutaan spesies dan menyediakan berbagai sumber daya. Selain kayu, hutan juga menyediakan makanan bagi satwa dan tumbuhan, bahan obat, serat-serat non kayu, bulu dan kulit binatang. Semua itu akan memberikan penghasilan yang besar dan lapangan pekerjaan yang tidak sedikit jumlahnya.
4.Sumber daya Bahan Tambang
Sumber daya alam bahan tambang seperti minyak bumi, besi, batubara, timah, nikel, dan sebagainya adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Pada umumnya berada di bawah permukaan tanah. Pengolahan bahan tambang tersebut akan berdampak pada lingkungan, tidak hanya terbatas pada lokasi pengolahannya tapi juga ke udara dan tempat-tempat lain. Intensitas dan kadar dampak lingkungan sangat dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan. Hal penting yang harus diperhatikan adalah pemilihan teknologi yang dapat  mengurangi kerusakan lingkungan.
Oleh karena itu pengelolaan sumber bahan mentah tersebut harus memperhitungkan segi teknologi. Selain itu juga harus memperhitungkan dampak lingkungan sekecil mungkin. Dalam usaha memanfaatkan sumber-sumber alam tersebut perlu dijaga agar lingkungan hidup tidak menjadi rusak, kelestarian lingkungan perlu terus diupayakan.


ABSTRAK

Tekanan terhadap sumber daya hutan yang diakibatkan oleh over cutting, illegal logging, perambahan yang disertai okupasi lahan, terutama pada era reformasi dan otonomi daerah sangat dirasakan pada saat ini.  Kondisi hutan yang menurun juga telah terjadi sebagai akibat adanya kebakaran hutan dalam lima tahun terakhir terutama pada tahun 1997/1998 (khususnya Provinsi Kalimantan Timur seluas ± 3,2 juta ha, Baplan 1998).  Hal tersebut mengakibatkan menurunnya kualitas sumber daya hutan (SDH) yang akan berpengaruh kepada berbagai aspek kehidupan masyarakat.  Sebagai langkah awal kegiatan pengelolaan hutan yang berorientasi kepada Resource Base Management, perlu dilakukan rekalkulasi SDH yang diharapkan dapat menjadi base line pembangunan kehutanan di masa datang dan sekaligus sebagai bahan evaluasi kebijakan yang telah diterapkan selama ini.
Rekalkulasi penutupan lahan telah dilakukan terhadap kawasan hutan seluruh Indonesia berdasarkan data digital penutupan lahan skala 1:250.000 hasil penafsiran citra Landsat 7 ETM+ Liputan tahun 1999/2000.  Rekalkulasi dilakukan terhadap kawasan hutan sesuai fungsinya, yaitu Hutan Lindung, Hutan Konservasi dan Hutan Produksi yang dirinci menjadi Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi yang dapat di-Konversi (HPK).  Penafsiran penutupan lahan pada masing-masing fungsi hutan secara garis besar dikelompokkan ke dalam hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, non hutan dan tidak ada data.
Hasil rekalkulasi menunjukkan bahwa lahan berhutan pada: 1) hutan lindung seluas 20,80 juta ha atau 69,6 % dari hutan lindung yang dilakukan rekalkulasi seluas 29,89 juta ha; 2) hutan konservasi seluas 12,879 juta ha atau 65,2 % dari hutan konservasi yang dilakukan rekalkulasi seluas 19,74 juta ha; 3) hutan produksi seluas 48,953 juta ha  atau 58,5 % dari hutan produksi yang dilakukan rekalkulasi seluas 83,67 juta ha.












PENUTUP
                  Bioprospeksi yang memandang bahwa seluruh sumberdaya hayati dan organnya memiliki potensi, prospek digunakan sebagai strategis pemanfaatan sumberdaya hutan. Hutan yang menjadi simbol kekayaan sumberdaya hayati suatu negara harus dilindungi melalui pengelolaan yang berkelanjutan karena hutan berfungsi ekologis dan ekonomi. Kedua fungsi tersebut harus menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan strategis memanfaatkan hasil hutan. Prioritas ekonomi seperti yang dilakukan selama ini dalam pengelolaan hutan justru telah mengakibatkan biaya ekonomi tinggi dalam menanggulangi berbagai efek ekologis yang timbul. Bioprospeksi dipandang efektif digunakan dalam pengelolaan sumberdaya hayati khususnya hutan karena strategis dapat menerapan manajemen berwawasan lingkungan dan bernilai ekonomi. Karena itu diperlukan kajian rancangan sistem bioprospeksi yang sesuai dengan aspek ekonomi dan aspek ekologis dalam pengelolaan sumberdaya alam.
                  Berdasarkan kajian teoritis dan filosofi konsep bioprospeksi dianggap sebagai paradigma baru dalam pengelolaan sumberdaya hayati. Konsep ini bernilai ekonomi tinggi dan berwawasan ekologis dalam pencarian strategis pengelolaan sumberdaya hutan. Dilematis ekonomi dan ekologis dalam pemanfaatan hasil hutan secara teori dapat diatasi dengan konsep bioprospeksi meskipun konsep ini tidak mutlak aman bagi kelangsungan hidup spesies. Oleh karena itu diperlukan kajian mendalam tentang sistem bioprospeksi meliputi kelayakan ekonomi, kelembagaan, tersedianya sumberdaya manusia, dan mekanisme kerja bioprospeksi terutama eksplorasi potensi, teknik pemanfaatan, dan pemasaran produk.

















DAFTAR PUSTAKA
Arthur, A. S. and Gordon, C. R. 2000. Valuing Research Leads: Bioprospecting and the Conservation of Genetic Resources. Journal of political economy, Columbia University
Dhillion. S and H. Svarstad. 2002. Bioprospecting: Effects on Enviroment and Developent. MBIO. 31(6): 491-493 ISSN 0044 7447
Rodney, B. W. and Kumar, P. 2002. Royalties and benefit sharing contracts in bioprospecting. Department of applied economics, Univesity of Minnesota.
Sternlof, K. 1998. Bioprospecting could fuel economic insentive for biological conservation. Journal of political economic.
Svarstad, H. and S. Dhillion. 2000. Responding to bioprospecting from biodiversity in the south to medicines in the north. Oslo. Spartacus forlag. ISBN 82-430-0163-8.
Wildman H. G. 1995. Pharmaceutical Bioprospecting and its relationship to the conservation and utilization of bioresources. http://www.iupac.org/symposia/proceeding/phuke97/wildman.html

William G. A., Parks, J. E, Russel, D. and I. Korovulavula. 1997. In search of a cure: Bioprospecting as a marine conservation tool in Fijian community. Program Lessons from the field.

No comments:

Post a Comment